Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Quo Vadis Syair Madura?

 “E dhalem kobur tako’ parana
Enneng kadibi’ tadha’kancana
Bannya’ amal se ta’ katarema
Amarga bangal ka reng towana”
“Pong-pong gi’ kene’ gi’ ngodha-ngodha
Pabajeng nyare elmo akida
Manabi nyaba dhapa’ gan dhadha
Kastana ampon bi’ tadha’padha”
“Mayyidda nanges e dhalem kobur
Enga’ odhi’na gabay ta’ lebur
Lemang baktona lakona kendhur
Seksana kobur patang kajendhur”

Syair-syair di atas sering saya dengarkan dari sebuah gelombang radio yang sering diputar oleh santri Blok L pada waktu siang hari sepulang dari madrasah di Pondok Pesantren Bata-Bata. Terik mentari yang menyebabkan keringat bercucuran tak mampu menutupi hati dari mencoba mendengar dan meresapi syair-syair macam di atas.

Entahlah, apakah syair-syair semacam di atas masih selalu menjadi lagu favorit santri Bata-bata atau sudah berganti dengan boyband dan group band dengan lirik-lirik percintaannya. Syair-syair kontemplasi telah berganti dengan lagu-lagu galau yang memperturutkan keinginan lahir. Tak lagi mengingat hakikat diri, yang dibahas adalah rasa. Padahal rasa tak selalu benar dan tak selalu menuntun ke jalan yang benar.

Ah, syair Madura... bagaimana nasibmu kini?

Post a Comment for "Quo Vadis Syair Madura?"