Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Desa, Tempat Saya Kembali

Hidup guyup dan gayeng di desa
- Oleh Arta Nusakristupa

Saya bukan orang Surabaya asli. Saya cuma orang kampung. Namun karena beberapa hal, saya terpaksa meninggalkan desa, lalu hidup di kota. Di Surabaya, rencana saya hanya sementara, bukan seterusnya. Sayang, menjadi orang kota jadi-jadian pun membuat saya sok. Sok sibuk, sok modern, sok kota, sok lupa.

Tapi lupa dengan desa bukan berarti saya tak ingat lagi di mana saya dilahirkan, diasuh, dan dibesarkan. Tidak! Saya masih ingat Mbah Putri dan Mbokde Yusu atau biasa dipanggil De Su, dan semua tetangga yang selalu menggendong saya ketika semua anggota keluarga pergi ke sawah. Saya masih ingat betul, petak-petak sawah mana yang tak pernah kekurangan air dan daun-daun padi bisa tumbuh begitu hijaunya tanpa harus ditaburi pupuk.

Tak sekeping pun mozaik masa lalu itu rontok dari ingatan saya. Kalau sekarang saya telah dimasukkan dalam daftar orang yang telah lupa dengan desanya, itu lebih karena saya telah melanggar konsensus tradisional tak tertulis yang berlaku di sana.

Telah beberapa tahun saya mengabaikan pasal-pasal dalam konsensus itu, bahkan secara berturut-turut. Pelanggaran pertama, saya tidak pulang kampung saat Hari Raya Lebaran. Pelanggaran konsensus terberat dan paling baru adalah Lebaran tahun lalu. Saya bersama seluruh keluarga justru pergi berlibur ke Pulau Lombok waktu itu.

Sebelumnya, kepada teman-teman, saya tunjukkan keindahan Senggigi lewat internet. Tak terlalu ramai seperti Kuta, pagi sampai sore anak-anak bisa bermain pasir di pantai, saya bisa membaca novel-novel yang telah saya beli tapi belum sempat saya baca. "Jadi, nggak usah pulang ke tempat Mbah," batin saya.

Saya juga katakan kepada adik saya, kita tak perlu keluar duit terlalu banyak bila berlebaran di Senggigi. Hotel bertaraf internasionalnya tidak terlalu mahal. Kita akan tempati kamar yang view-nya menghadap laut.

Pelanggaran konsensus berikutnya, karena alasan sibuk dan tak punya cukup waktu, saya tidak berziarah ke pekuburan kakek-nenek saya ketika Ramadan menjelang. "Eh, kamu boleh lupa kepada yang hidup, tapi jangan sekali-sekali lupa dengan yang telah mati," ujar kerabat saya di desa suatu ketika. Saya terus teringat dengan kata-kata itu. Hanya, saya sekarang telah semakin berani untuk mengabaikannya. "Ingat dengan yang mati kan tidak harus ditunjukkan dengan pulang kampung," sanggah saya dalam hati.

Sebenarnya saya tetap pulang kampung, tapi tidak bisa pas Lebaran. Karena agaknya memang sok sibuk dan banyak pekerjaan. Sayang, sibuk dan banyak kerjaan adalah sesuatu yang begitu sulit diterima akal desa.

Padahal, cita-cita termewah saya saat ini adalah menghabiskan hari tua di desa. Tinggal di rumah kayu sederhana dengan sebuah ruangan untuk menaruh buku-buku. Jendela menghadap ke sawah dan tanaman sayuran di pekarangan.

Untuk mengisi waktu bersama istri, saya akan membaca ulang semua buku yang pernah saya baca. Saya akan bersampan menyusuri kata-kata indah berkelok yang ada dalam antologi-antologi puisi karya para penyair. Buat apa terus di kota? Untuk masuk ke liang lahat saja, di kota, terlalu ribet prosedurnya. Pekuburan kota begitu banyak makelarnya.

Oke, saya berjanji tahun depan, saya harus betul-betul mudik. Saya tersenyum mengingat-ingat beberapa tahun lalu. Setiba di kampung, saya disambut sanak saudara dengan gembira, karena saya datang tepat pada waktunya. Keponakan saya yang kecil-kecil mengelus-elus mobil saya. Mengajak saya bermain bola dan membual seolah-olah mereka sekelas Evan Dimas dan tim Garuda Jaya.

Pohon-pohon kamboja masih teduh seperti dulu. Setia meneduhi jasad siapa saja yang berbaring di bawahnya. Saya kurang tahu apakah kakek, nenek, buyut, dan tetangga-tetangga yang telah tiada itu juga gembira dengan kehadiran saya. Yang jelas, saya bahagia bisa kembali menengok makam mereka.

Ah... Ternyata, ada juga keping bahagiaan yang tercecer di kuburan. Mungkin karena suatu saat, sayalah yang harus menempati ruangan itu.

Post a Comment for "Desa, Tempat Saya Kembali"