Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Salah Kaprah Memahami Hari Ibu

Hari Ibu, benarkah hari untuk ibu?
Hari Ibu, benarkah hari untuk ibu?
- Oleh Brahmanto Anindito

Hari ini kita peringati sebagai Hari Ibu. Inilah hari peringatan terhadap peran seorang ibu dalam keluarganya, baik untuk suami, anak-anak, maupun lingkungan sosialnya. Biasanya dilakukan dengan membebaskan ibu dari tugas-tugas domestik selama sehari penuh. Alternatifnya, gantian si suami (atau si anak) yang melakukan tugas-tugas seperti memasak, mencuci, merawat anak, dan urusan rumah tangga lainnya. Atau, tidak ada yang perlu melakukan tugas-tugas itu. Mereka cukup pergi berlibur dalam rangka mengistirahatkan dan menghibur sang Ratu di keluarga.

Tapi, di situlah salah kaprah perayaan Hari Ibu. Orang kebanyakan mengira inilah hari terima kasih kepada ibu yang selama ini telah bekerja keras melahirkan dan mengurus rumah tangga kita. Awalnya, 22 Desember diperingati untuk mengenang semangat dan perjuangan perempuan dalam upaya perbaikan kualitas bangsa.

Mari kita flashback sejenak. Pada 22-25 Desember 1928, Kongres Perempuan diselenggarakan. Pesertanya 30 organisasi perempuan dari 12 kota dari Jawa dan Sumatra. Mereka membahas dan menyepakati beberapa hal berkaitan dengan peranan wanita dalam kehidupan sosial dan berbangsa. Namun baru pada 1938, atau Kongres Perempuan III, mereka mencanangkan hari untuk mengenang andil para perempuan dalam membela negara itu. Singkatnya, tanggal 22 Desember pun dikukuhkan sebagai Hari Ibu, sesuai Keputusan Presiden Soekarno No. 316 tahun 1959 tentang Hari Nasional yang bukan hari libur.

Jadi, sebenarnya Hari Ibu yang kita peringati setiap 22 Desember ini adalah hari mengenang heroisme perempuan dalam berjuang demi Indonesia. Tapi, kok dinamakan “ibu”? Kalau kita hubung-hubungkan penjelasannya (bahasa Jawanya uthak-athik gathuk), tentu nyambung saja.

Namun gara-gara penamaan itu, hari ini pun menjadi hari yang serba nanggung. Bagi kaum feminis, muncul pertanyaan, “Lho, kok begini saja? Kok peringatannya hanya ditunjukkan dengan menonjolkan peran perempuan di ranah domestik saja?”

Sementara kaum non feminis yang kebetulan mengerti sejarah 22 Desember pun menganggap Hari Ibu-nya Indonesia ini mirip dengan Hari Emansipasi Kartini 21 April atau Hari Perempuan Internasional 8 Maret, dimana sebenarnya tidak terlalu berhubungan dengan bakti kita terhadap sang Ibu yang telah bersusah payah mengandung dan membesarkan kita.

Asal tahu saja, di lebih dari 76 negara lain, seperti Australia, Amerika Serikat, Kanada, Belanda, Jerman, Italia, Jepang, Taiwan, Hongkong, Malaysia dan Singapura, Mother’s Day dirayakan pada Mei, hari Minggu di pekan kedua. Kok bukan 22 Desember juga? Sama seperti Hari Ayah, peringatan-peringatan hari semacam ini tidak pernah dan tidak harus seragam tanggalnya antara satu negara dengan negara lainnya.

Yang jelas, bagi saya, Hari Ibu bukan dirayakan 22 Desember, 8 Maret, atau 21 April. Hari Ibu harusnya dirayakan setiap hari.

Post a Comment for "Salah Kaprah Memahami Hari Ibu"