Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Timnas ala Rahmad Darmawan... Monoton!

Rahmad Darmawan
Rahmad Darmawan, pelatih timnas U-19
- Oleh Alva Altera

Timnas sepakbola U-23 tampil memalukan di pentas SEA Games. Setelah babak belur dihajar Thailand 1-4, barusan Indonesia U-23 ditahan imbang 0-0 oleh tim yang permainannya culun: Timor Leste. Sebenarnya gejala-gejalanya sudah terlihat dari laga-laga ujicoba sebelumnya. Juga dari ajang Islamic Solidarity Games (ISG) di Palembang, September lalu. Waktu itu saya membatin, “Tim ini tidak ada harapan.” Pokoknya jauh berbeda dengan adik-adiknya di timnas U-19.

”Sok main individual, tapi ga sadar skill pas2an. Pengen umpan2 panjang, tapi ga nyadar badan pendek. Udah, main tarkam aja, Bos!” kritik seseorang di Twitter.

Mengapa penampilan tim Rahmad Darmawan seperti mentok begini-begini saja?

Faktor pemain U-23


Para pemain U-23 adalah hasil seleksi dari kompetisi PSSI. Kita sama-sama tahu bagaimana kompetisi PSSI (dan KPSI): keras, dipenuhi pemain asing dan naturalisasi yang mahal, tapi skill-nya biasa-biasa saja. Sudah begitu, mereka suka sekali memprotes wasit. Ini masih diperparah lagi oleh kelakuan para suporternya yang hobi berantem dan anarkis bila tim kesayangannya kalah.

Dalam hal ini, timnas U-19 lebih beruntung. Mereka jauh dari lingkungan negatif itu. Mereka lahir bukan dari kompetisi PSSI yang acak adul. Mereka terbentuk dari hasil blusukan pelatih Indra Sjahfri ke pelosok-pelosok Nusantara. Mencari talenta-talenta muda yang berbakat yang justru kebanyakan belum masuk klub profesional. Pelatih U-19 pun terus menjaga kemurnian ini. Antara lain dengan memproteksi anak-anaknya, termasuk dari dunia show biz.

Lain dengan punggawa-punggawa U-23 yang pacaran dengan artis sinetron, dan mantan narapidana pula! Sebagian lain dengan bangganya jadi bintang iklan Clear, Kacang Garuda, Sosis So Nice, dan entah apa lagi. Sisi baiknya, mereka jadi atlet-atlet yang sejahtera. Namun, prestasinya stagnan. Semangat juang di lapangan terlihat ala kadarnya. Kalah saja tetap kaya kok, buat apa ngotot menang?

Faktor Coach Rahmad Darmawan


Banyak yang bilang, pelatih U-23, Rahmad Darmawan, tidak punya visi. Mantan mayor di Marinir itu memang pernah mengantarkan Persipura juara Liga Indonesia pada 2005. Membawa Sriwijaya FC juara Liga Indonesia pada 2007, dan Copa Indonesia pada 2007, 2008 dan 2009. Lalu mengawal timnas U-23 meraih medali perak SEA Games 2011. Setelah itu, apa boleh buat, pamor pelatih yang akrab disebut RD itu meredup.

Pemainnya tidak punya semangat juang, pelatihnya pun tidak punya strategi dan taktik jitu. Klop! Sebagai mantan tentara, mestinya Rahmad Darmawan tahu bahwa taktik itu harus diubah ketika lawan terbukti susah didobrak. Tapi tidak seperti Coach Indra Sjahfri (yang sebenarnya lebih junior dari sisi kepelatihan), saya tidak pernah melihat perubahan taktik apa-apa di Timnas U-23. Permainan bola-bola panjang terbukti tidak efektif, tetap saja diteruskan sampai peluit panjang pertandingan berbunyi. Payah!

Di lain sisi, tuntutan mundur dari Timnas tidak pernah membuat Rahmad Darmawan galau. Sebab, dia baru saja teken kontrak dengan Persebaya ISL, yaitu Persebaya abal-abal yang direstui La Nyalla Mataliti, Wakil Ketua PSSI sekaligus Ketua BTN (Badan Tim Nasional).

Jadi, kalau di mata bonek Surabaya, lengkaplah wajah bopeng Rahmad Darmawan. Sudah gagal memimpin Timnas U-23 di SEA Games 2013 (yang katanya targetnya medali emas), bergabung pula dengan Persebaya palsu untuk musim kompetisi 2014.
”Males ndelok tim asuhane Rahmad Darmawan main. Pola permainane ga tau jelas. Alasannya dari dulu masih berproses. Mau berproses berapa abad dulu?” kata seorang teman di Facebook.

Kita masyarakat pecinta bola disuruh bersabar. Disuruh, “Jangan main kritik saja, memangnya situ bisa main bola? Memangnya situ bisa melatih?”

Aduh, ini alasan khas pecundang. Kalau musuhnya Chelsea, Manchester United atau Belanda, kami pasti masih bisa menghargai meskipun dibantai 0-5. Tapi ini Thailand (September lalu U-19 membantainya 3-1) dan Timor Leste (September lalu U-19 menggasaknya 2-0). Kelasnya kan sama-sama Asia Tenggara. Lagipula, adik-adik U-19 juga berhasil menggilas jagoan Asia Pasifik Korsel 3-2!

Ini menunjukkan bahwa pemain-pemain kita sebenarya jempolan. Tapi di tangan orang yang salah, atau tanpa motivasi prestasi (adanya motivasi uang dari honor iklan), potensi itu jadi melempem. Salahkah bila masyarakat kemudian mengkritik tim ini? Ingat, mereka ini berangkat ke Myanmar sebagian besar dibiayai uang rakyat lho! Artinya, rakyat berhak dong memarahi mereka.

Setidaknya, hiburlah kami dengan permainan berkelas. Katanya, Rahmad Darmawan suka memuji anak asuhnya, “Kamu kelas!” Terutama bila ada yang mencetak gol atau membuat gerakan indah. Sementara yang kami tonton di layar televisi tadi dan kemarin-kemarinnya memang permainan kelas... Kelas rendah, maksudnya!

Selama ini, kita dininabobokan oleh PSSI. Seolah-olah mereka sudah berusaha keras dan kita wajib menghargai apapun hasil yang diraih. Ini seperti TVRI zaman dulu. Saya ingat benar, acara-acara TVRI begitu menghibur dan saya tunggu-tunggu. Lalu datanglah RCTI, SCTV, dan selanjutnya. Memberi alternatif hiburan yang lebih berkelas. Membuat saya mengumpat-umpat dalam hati, “Kurang asem! Ngapain dulu bisa suka tontonan-tontonan garing sebelum ini.”

Begitu pula melihat timnas. Kita awalnya terhibur dengan permainan ngotot mereka. Meski kalah, kita hargai dan beri tepuk tangan sambil berdiri. Merekalah pahlawan kita! Lalu datanglah Indra Sjahfri dan skuad U-19-nya. Kita dibuat terpengarah melihat permainan mereka, dan mengulang umpatan itu dalam hati, “Kurang asem! Ngapain dulu bisa suka tontonan-tontonan garing sebelum ini!” Sudahlah...

Sekarang bagaimana?


Kalau PSSI dan Pemerintah (dalam hal ini Menpora) berani, setelah ini, hapus saja dua generasi timnas: senior dan U-23. Ganti pengurus-pengurusnya juga. Perbaiki kompetisinya. Benahi regulasi klub-klubnya.

Kemudian, ciptakan timnas baru dengan sistem kepelatihan sepakbola modern seperti yang diterapkan Coach Indra Sjahfri. Copy-paste saja metode Uda Sjahfri. Rekrut pemain dari yang benar-benar punya skill individu, stamina, tinggi badan ideal, punya visi bermain secara tim, serta tidak mata duitan! Satukan mereka dalam program kepelatihan dan ujicoba, minimal selama setahun sebelum kejuaraan.

Kalau Indonesia punya tiga tim saja yang sekelas U-19, dan tiga pelatih saja yang sekaliber Indra Sjahfri, percayalah, kita pasti akan menjadi macan Asia di dunia persepakbolaan. Bukannya seperti sekarang, di level Asia Tenggara saja Indonesia jadi bahan tertawaan.

Post a Comment for "Timnas ala Rahmad Darmawan... Monoton!"