Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

AFF 2014 dan Alfred Riedl

- Oleh Alva Altera

Pertandingan terakhir Indonesia di Piala AFF (kompetisi sepakbola tingkat Asia Tenggara) kemarin menyisakan banyak cerita. Di laga melawan Laos tersebut, pelatih timnas Indonesia, Alfred Riedl, menurunkan skuad keduanya. Skuad cadangan yang dipandang remeh oleh sang Pelatih.

Buktinya, beberapa pemain di dalamnya tidak pernah dimainkan dalam laga sebelumnya, yakni ketika melawan Vietnam dan Filipina. Namun, hasilnya justru di luar dugaan. Tim “buangan” dari Riedl ini sukses membantai Laos 5-1. Permainan mereka pun jauh lebih ciamik daripada tim utama.

Sebut saja tim ini Tim B. Terdiri dari Evan Dimas Darmono, Haryono, I Made Wiryawan, Ramdhani Lestaluhu, dan lain-lain. Sebelumnya, Riedl selalu percaya pada pemain-pemain tua seperti Firman Utina, Raphael Maitimo (pemain naturalisasi), Sergio Van Dijk (naturalisasi juga), M. Ridwan, dan lain-lain.

Alasan Riedl tidak memainkan skuad muda, “Mereka belum teruji dan tidak bisa langsung diberi kepercayaan sebesar itu.” Well, dari pertandingan malam itu, terbukti pendapat Riedl ini salah besar. Tim B justru bermain jauh lebih baik dari Tim A. Riedl pun terkejut dengan hasil positif itu.

Namun, dia tetap ngotot strateginya tidak menurunkan pemain-pemain muda itu sudah benar. “Lawan kemarin hanya Laos. Kelas Laos setingkat di bawah Filipina dan Vietnam. Kalau Evan Dimas diturunkan lawan Filipina atau Vietnam, pasti tetap tidak mengubah keadaan,” prediksinya.

Benar, Laos memang masih di bawah Vietnam, Filipina dan Indonesia. Tapi apakah benar pemain muda tidak mampu mengubah keadaan? Mari bermain-main perbandingan, Mr. Riedl. Anda tahu, Filipina menggunduli Laos 4-1. Sementara Indonesia (Tim B) menghajar Laos lebih meyakinkan, 5-1! Mana yang lebih hebat? Filipina atau Indonesia B?

Indonesia Tim B di atas kertas lebih hebat dari Filipina! Tepatnya, lebih hebat satu gol dibanding Filipina. Padahal Indonesia Tim B sejak menit 27 bermain dengan 10 pemain saja, setelah Supardi dikartu merah. Berarti, Indonesia B yang cuma 10 pemain pun masil lebih kuat dibanding Filipina full team.

Di lain sisi, Filipina telah mempermalukan Indonesia Tim A dengan skor 4-0 pada pertandingan tiga hari sebelumnya. Coba, kalau Indonesia Tim B yang main melawan Filipina. Tentu hasilnya beda, tidak seperti kata Riedl.

Anda boleh berdebat apa saja. Bahwa sepakbola bukan matematika, bola itu bundar dan sepakbola tidak bisa diprediksi dengan cara begitu… terserah! Tapi lihatlah permainan Indonesia Tim B. Objektiflah menilai.

Di bawah punggawa-punggawa muda seperti Evan Dimas, permainan timnas terlihat lebih padu. Passing-passingnya lebih akurat. Lebih enak ditonton. Kesalahan memang masih terjadi di sana-sini, tapi jauh lebih minim dibandingkan dengan Indonesia Tim A yang melawan Vietnam dan Filipina kemarin. Kasarnya, tim utama Riedl itu mainnya justru kelas tarkam!

Kalau PSSI dan BTN cerdas, harus ada perombakan timnas, dari skuad tua menjadi skuad muda (jangan lebih dari 25 tahun). Juga kompetisi LSI yang ternyata hanya menghasilkan pemain-pemain kelas tarkam.

Lihatlah, pesepakbola-pesepakbola tua seperti Cristian Gonzalez dan Boaz Solosa yang diikutkan di Tim B pun tidak berkontribusi menyumbangkan satu gol pun dalam pesta gol kemarin. Artinya apa? Pemain-pemain uzur seperti mereka, ditempatkan di tim manapun, tidak akan bersinar. Karena sinar mereka memang sudah redup.

Kecuali kalau kualitas mereka benar-benar bagus, tidak ada untungnya memainkan orang-orang tua. Ketika pemain-pemain tua itu dimainkan, kalau gagal, kita rugi besar. Tapi kalau pemain-pemain muda, sungguh pun gagal, kita masih punya keuntungan: regenerasi, penambahan jam terbang, investasi masa depan.

Alfred Riedl cemberut

Ada yang menarik juga kemarin. Ketika Indonesia Tim B sudah unggul 5-1, kamera sempat menyuting wajah Riedl. Yang mengejutkan, wajah itu seperti bukan wajah pemenang. Dia geleng-geleng kepala dengan mimik sedih. Ada apa, Mr. Riedl?

Barangkali dia sedih karena kemenangan besar itu tidak ada maknanya. Toh Vietnam, di pertandingan sebelah, unggul atas Filipina. Ini membuat peringkat Indonesia tetap berada di posisi ketiga dalam grup, sehingga tidak lolos ke semifinal. Pantaslah wajah Riedl tertekuk-tekuk.

Namun ada juga penafsiran lain. Riedl termakan omongannya sendiri. Sejak awal, dia tidak percaya pada pemain-pemain muda. Terbukti yang dipanggil ke pelatnas itu lagi, itu lagi. Dia menganggap anak muda tidak bisa apa-apa. Lalu Evan Dimas berhasil menjungkirkan semua anggapan pelatihnya. Ini mungkin salah satu yang menyumbangkan kecemberutan di wajah pelatih asal Austria itu.

Di samping itu, tahukah Anda, sebagai alasan kegagalan Indonesia masuk semifinal AFF 2014, Riedl mengambinghitamkan kondisi pemain. “Pemain-pemain itu capek. Kompetisi Liga Super Indonesia baru berhenti dua minggu menjelang bergulirnya AFF,” dalihnya.

Tapi justru di situlah keanehan strategi Riedl. Sudah tahu pemain-pemain tuanya kecapekan, kenapa tidak menunjuk pemain-pemain yang masih segar? Malah terus-terusan menurunkan Firman Utina, Boas Solosa, Van Dijk?

Toh setelah Indonesia membantai Laos terbukti, skuad cadangannya lebih tokcer. Masyarakat Indonesia dan Menteri Olahraga pun bisa segera melihat bahwa Riedl salah strategi. Ternyata, di antara tim yang dibawanya, ada pemain-pemain yang kuat dan segar yang malah disimpan terus. Maka jelaslah, alasan “pemain keletihan sehingga penampilannya buruk” itu tidak lagi relevan.

Jadi, sebaiknya Riedl mengakui saja strateginya keliru. Instingnya memilih pemain juga tidak akurat. Selesai. Ambillah gaji Anda. Dan PSSI, tolonglah, jangan pakai lagi pelatih yang seperti ini. Kecuali kalau memang ada pihak yang ingin sepakbola Indonesia berhenti di tingkat Asia Tenggara saja.

Post a Comment for "AFF 2014 dan Alfred Riedl"