Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Dulu Laut, Sekarang Wilayah Udara Kita Yang Diubek-ubek

Kian banyak pesawat masuk NKRI tanpa izin. Tanya kenapa?
Kian banyak pesawat masuk NKRI tanpa izin. Tanya kenapa?
- Oleh Win Andriyani

Pada 22 Oktober 2014, pesawat jenis Beech Craft milik Australia terbang tanpa izin di langit Ambon, dari Australia menuju Filipina. Pada 28 Oktober 2014, pesawat jenis Beech Craft 9L milik Singapura terbang ilegal di langit Pontianak, dari Singapura menuju Malaysia. Pada 2 November 2014, pesawat jenis Gulfstream IV milik Arab Saudi terbang gelap di langit Kupang, dari Singapura menuju Australia.

Pesawat tempur Sukhoi milik TNI Angkatan Udara pun harus bolak-balik lepas landas untuk memaksa mereka mendarat. Sejauh ini, balapan atau bahkan jika harus bertempur di udara dengan mereka, bukan masalah bagi Sukhoi.

Tidak hanya Sukhoi. Pada 10 April 2014, jet tempur F-16 pun melakukan force down pesawat Swearingen SX 300 milik warga Swiss yang terbang tanpa identitas di langit Medan. Falcon Flight berhasil memaksa pesawat yang bergerak dari Sri Lanka menuju Thailand (transit Malaysia) itu mendarat di Lapangan Udara Suwondo, Medan.

Kita pun mengelus dada. Berani-beraninya mereka terbang di wilayah kedaulatan kita tanpa izin! Pertanda apakah ini? Apakah mereka sedang mengetes sistem pertahanan udara kita?

TNI pun dipaksa meninjau kembali radar pengawasan yang ada. Apalagi sebagian besar masih berteknologi lama. Ibarat Android sudah keluar versi Kitkat, ini masih pakai Froyo. Masih ampuh, tentu saja. Tapi kurang update, sehingga diperkirakan rentan terhadap “penyusupan-penyusupan”.

Tengoklah, ketika seluruh radar diaktifkan dan dihitung jarak bearing maksimalnya, kita pasti dapat menemukan celah-celah ruang di langit Indonesia. Ini berpotensi sebagai area blank spot bagi pesawat asing.

Awalnya, barangkali hanya pesawat-pesawat sipil yang datang. Karena kalaupun tertangkap, mereka tidak akan terlalu dipermasalahkan secara politik. Paling-paling pelanggarnya disuruh membayar denda dan diperbolehkan terbang lagi. Tapi ke depannya, siapa tahu yang menginfiltrasi adalah pesawat militer atau drone negara lain, terutama yang berspesifikasi antiradar?

Kejadian 3 Juli 2003 bisa terulang kembali. Saat itu, F-16 TNI AU mencegat dua pesawat F-18 Hornet dan empat kapal perang AL Amerika Serikat di area Pulau Bawean, Jawa Timur. Pilot Hornet bersikeras terbang di atas perairan internasional. Padahal, itu Laut Jawa!

Posisi Falcon kita sudah dikunci. Di atas kertas, tinggal diroket saja sudah bisa. Tapi pilot kita segera banting setir untuk melepas kuncian itu. Terjadilah kejar-kejaran seperti di film. Untungnya, pilot Hornet akhirnya mau melapor ke controller di Surabaya. Karena bila dog fight itu benar-benar terjadi, ada kemungkinan F-16 yang kalah.

Nah, bagaimana kalau tren pelanggaran wilayah kemudian pelakunya adalah jet tempur seperti itu? Memang, kecil kemungkinannya negara lain "berani" sekurang ajar itu. Tapi siapa yang menjamin.

Makanya, kalau BIN mencurigai pesawat-pesawat sipil itu ada agenda lain, bukan sekadar traveler yang tersesat atau khilaf, tilang yang hanya 60 juta itu rasanya terlalu ringan. Mana mungkin mereka jera dengan denda sekecil itu. Lagipula, biaya penerbangan satu jam dari sepasang Sukhoi penyergap minimal 100 juta, menurut Marsekal TNI Ida Bagus Putu Dunia, Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU).

Selain dendanya dipermahal, pesawat pelanggar juga hendaknya disita. Kita baru mengembalikannya setelah ada permintaan maaf secara resmi dan terbuka (publik) dari pemerintahnya, meskipun pelakunya mungkin pihak swasta.

Dengan begitu, pemilik pesawat malu, pemerintahnya juga malu. Lalu mereka akan memperketat aturan penerbangannya sendiri. Sementara di pihak kita, permintaan maaf itu akan memberi kekuasaan lebih untuk bertindak lebih keras terhadap pelanggaran-pelanggaran serupa dari negara yang sama setelah itu.

Panglima TNI Jenderal Moeldoko meminta kepada Pemerintah untuk memberikan hak menyidik bagi TNI AU. Ini supaya mereka dapat langsung menindak tegas para pelanggar wilayah kedaulatan NKRI. Selama ini, hak penyidikan ada pada Kementerian Perhubungan.

Kita tidak mau selamanya bermain kucing-kucingan atau petak umpet, bukan? Masa di perbatasan laut dulu kita sudah dilecehkan, di udara kita juga diobrak-abrik? Pemerintah harus menyiapkan langkah-langkah strategis yang tegas dan efektif untuk mengantisipasinya.

Post a Comment for "Dulu Laut, Sekarang Wilayah Udara Kita Yang Diubek-ubek"