Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Terobosan Pak Menteri Pendidikan

Anies R. Baswedan

Menteri Anies R. Baswedan baru saja mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan no. 23 tahun 2015. Permen terbaru ini isinya soal budi pekerti luhur. “Budi luhur terdiri dari moral dan kinerja. Moral berwujud jujur, sopan, beriman. Kinerja berwujud tangguh, tuntas, pantang menyerah, rajin, dan berpengetahuan. Keduanya harus tumbh bersamaan dalam diri siswa-siswa kita,” tandas Anies, sebagaimana dikutip koran-koran nasional.

Maka muncullah, dalam Permen tersebut, kewajiban harian siswa untuk membaca buku di luar pelajaran 15 menit sebelum kegiatan belajar-mengajar, menyanyi lagu Indonesia Raya pada awal pelajaran, menyanyi lagu daerah, lagu wajib nasional, dan lagu terkini bernuansa patriotik pada akhir kegiatan belajar-mengajar.

Kalau semua itu benar-benar dipraktikkan, jam pelajaran akan tersita sekitar 30 menit. Bisa juga dilakukan sebelum dan sesudah jam pelajaran, supaya tidak mengurangi jam kurikulum normal. Tapi, kasihan murid-muridnya. Jam pelajaran yang ada saja sudah panjang dan melelahkan, sekarang masih harus ditambah 30 menit ekstra? Jangan-jangan, para petinggi dunia pendidikan kita belum sadar bahwa jam belajar siswa-siswa Indonesia tergolong panjang (dibandingkan jam pelajaran di negara-negara maju sekalipun)?

Yang tak kalah membuat dahi saya berkerut, kenapa harus bernyanyi-nyanyi? Anies mengaku meniru sekolah-sekolah di Malaysia dan Jepang. Menurutnya, menyanyi bersama bisa meningkatkan kecintaan kepada tanah air. Benarkah begitu? Bagaimana kajiannya? Juga, benarkah kecintaan anak-anak Jepang dan Malaysia terhadap tanah airnya patut kita jadikan teladan?

Di luar itu, saya jadi teringat sewaktu masih SD dulu. Ketika kami disuruh menyanyi bersama, awalnya memang serius dan penuh semangat. Namun lama-lama, banyak yang mulai cengengesan, “kreatif” mengubah lagu, dan sebagainya. Apalagi kalau badan sudah letih (karena upacara atau pelajaran olahraga) dan pikiran penat (karena pelajaran). Kami pun mencari cara sendiri untuk menghibur diri, sehingga muncullah kreativitas itu. Namanya juga anak-anak.

Kembali lagi ke program “budi pekerti” Anies Baswedan. Tentang kewajiban membaca buku. Itu memang bagus. Tapi buat apa? Selama konteksnya dipaksa, percuma saja. Selama sistem pendidikan kita masih bertumpuk penuh beban bagi siswa, kegiatan-kegiatan semacam “membaca” buku yang tidak ada hubungannya dengan tugas dianggap membuang-buang waktu bagi si murid.

Mana mungkin siswa akan senang dan menikmati sesi membaca itu kalau dia masih punya banyak tanggungan PR? Mana mungkin lahir kegemaran membaca dari kegiatan yang tidak tumbuh alami (baca: dipaksakan) seperti ini? Apalagi kewajiban 15 menit membaca ini dilakukan di luar jam resmi sekolah.

Saya memang belum melakukan survei dan tidak mengutip teori psikologi apapun, tapi common sense saya mengatakan, bukan begini cara membuat anak gemar membaca.

Lebih jauh, melihat program-program “budi pekerti luhur” (tidak hanya soal menyanyi dan membaca), saya jadi merasa kita kembali ke zaman Orba. Ya, zaman-zaman Penataran P4 dulu, dimana semuanya berdasarkan komando dari atas. Sehingga, yang di bawah minim kreativitas serta inisiatif. Padahal, motivasi terkuat lahir dari dalam (internal) individu, bukan eksternal (dari orang lain). Praktis, setelah menyaksikan sepak terjang Menteri Pendidikan sebelumnya, saya jadi kembali pesimis.

Ini jelas bukan terobosan sistem pendidikan. Ini daur ulang belaka! Tidak ada sesuatu yang baru dalam Permen ini. Kenapa Pak Menteri tidak melakukan inovasi yang lebih menyenangkan dan fun untuk anak-anak didik kita?

Menumbuhkan nasionalisme, saya rasa, bukan dengan bernyanyi-nyanyi atau upacara bendera. PNS pun setiap pekan berupacara, tapi kenapa masih korupsi? Korupsi anggaran, korupsi jam kerja, melakukan pungli, dan sebagainya. Apa buktinya mereka, yang sering upacara ini, jadi cinta tanah air?

Menumbuhkan nasionalisme dari diri anak, sekadar supaya saya tidak dianggap hanya bisa mengkritik tanpa memberi solusi, bisa dilakukan dengan berkunjung ke museum, mewawancarai langsung veteran perang, menonton film-film perjuangan, merancang aksi nyata sebagai wujud cinta tanah air, dan sebagainya. Murid-murid pasti lebih fun melakukannya.

Ayolah, Pak Anies, lakukan sesuatu yang inovatif. Sewaktu Anda ditunjuk jadi Menteri Pendidikan, saya sudah berbunga-bunga membayangkan wajah dunia pendidikan kita akan berubah drastis ke arah yang lebih baik. Dan saya masih percaya itu! Langkah Anda memberantas Ospek yang tololnya sudah mentradisi itu adalah bukti, bahwa harapan itu masih ada.

Namun, bagaimanapun, memang orang tua tidak boleh berpangku tangan dengan kebijakan pemerintah. Sejak awal, orang tua atau wali murid seharusnya aktif dalam memilih sekolah terbaik dan tercocok bagi anak-anaknya.

- Tulisan: Arta Nusakristupa