Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Mengolok atau Diolok, Benarkah Hanya Itu Pilihannya?


Dalam praktik bermasyarakat, sering kita tergoda untuk pamer atau mengolok-olok kawan yang tidak seberuntung kita. Apalagi jika dia dulunya suka meremehkan kita. Wah, bagi kita, inilah waktu pembalasan yang tepat! Contoh teraktual, kita saksikan di media sosial saat Idhul Adha kemarin.
Ada yang terang-terangan mengatakan, “Alhamdulillah, akhirnya bisa kurban tahun ini! Tahun depan, insya Allah dua kambing, amiiiiin...!” Atau yang bernada provokatif seperti, “Ini kurbanku! Mana kurbanmu?”

Ada juga yang lebih halus. Dia cukup memajang foto di depan kambing, tak lupa melengkapi statusnya dengan kutipan ayat atau hadits berkaitan dengan keutamaan berkurban.

Bahkan, ada yang lebih halus lagi: berpose dengan pakaian mewah (sama sekali tidak pantas menjadi peternak atau pemilik peternakan) dan mengelus sapi sambil mengatakan, “Kapan ya bisa jadi juragan sapi? Hihihi...” Orang-orang pun dibiarkan mengambil kesimpulan sendiri bahwa dia sedang bernegosiasi membeli sapi untuk kurban. Tak peduli itu sapi patungan bertujuh atau dia beli sendirian, yang penting kan kesannya. Kesan bahwa dia berkurbannya sudah sapi. Bukan kelas kambing lagi!

Entahlah. Semoga saya yang salah. Semoga saja niat mereka sebenarnya bukan pamer. Karena kasihan sekali kalau ternyata saya benar. Sebab, ketika seseorang terpeleset ke dalam niat riya' (pamer atau syirik kecil), sia-sialah amalannya. Beli sapi 20 juta, pahalanya lenyap seketika. Umroh 30 juta, amblas pahalanya. Sudah capek, duit terkuras, tidak dapat apa-apa.

Bersyukur dan menahan diri untuk tidak pamer, apalagi mengolok

Pamer, merendahkan, membuli, atau menyindir nasib orang lain itu berasal dari satu sumber: nafsu. Kita semua punya nafsu. Pada akhirnya, kita semua selalu memiliki hasrat untuk pamer, mengolok-olok orang lain, dan sebagainya. Tapi, mari kita coba untuk mengendalikan nafsu itu.

Lagi pula, apa yang dibanggakan dari kekayaan? Seaman apapun harta kita saat ini, disimpan di dalam bungker yang dindingnya terbuat dari baja setebal tiga meter sekalipun. Sebanyak apapun jumlahnya, secara matematis cukup buat tujuh turunan tanpa bekerja sekalipun. Kalau Tuhan mau memberi musibah, mudah saja semua itu dibumihanguskan.

Percaya, tidak?

Ingat cerita Kharun? Hartanya yang berlimpah ruah itu akhirnya terkubur ke bumi lantaran kesombongannya. Sehingga, muncul istilah harta karun.

Selain kekayaan, alasan lain seseorang untuk pamer adalah wajah dan tubuh. Itu pun alasan yang tidak masuk akal. Sebab, semua itu sifatnya terlahir. Karena kita tidak bisa memilih terlahir dengan wajah dan kulit seperti apa, harusnya kita tidak perlu memuja-muja ketampanan atau kecantikan jika kita kebetulan tampan atau cantik.

Apa sih yang dibanggakan dari ketampanan atau kecantikan? Berani taruhan berapa Anda, seseorang yang cantik pasti lama-lama akan tua dan jelek juga. Kekuatan otot pun lama-lama melemah. Botox, operasi plastik, atau serum-serum anti penuaan pun takkan menolong.

Jika keniscayaan itu belum cukup membuat seseorang yang cantik atau ganteng menjadi rendah hati, mungkin perlu sesekali membayangkan kalau dia bisa celaka kapan saja. Bukannya mendoakan seseorang bernasib buruk. Tapi sekadar mengingatkan, bahwa kecantikan dan ketampanan itu bisa hilang sewaktu-waktu, tidak perlu menunggu tua.

Tertabrak, terbakar, tersiram bahan kimia berbahaya, terkena penyakit kulit, hanyalah beberapa dari banyak faktor penyebabnya. Percayalah, ada banyak sekali jalan yang bisa membuat tampang pangeran kita jadi tampang monster yang menjijikkan!

Karena itu, yang terbaik adalah selalu bersyukur dan merasa beruntung dengan karunia Tuhan. Lalu lanjutkan dengan tidak mengolok-olok orang yang lebih tidak beruntung dari kita. Juga tidak memamer-mamerkan keberuntungan kita, tentunya.

Sulit, memang. Terlebih di zaman yang pilihannya cenderung “mengolok atau diolok” seperti sekarang. Tapi, setidaknya kita bisa terus mencobanya sambil saling mengingatkan. Sebagaimana saya sedang mengingatkan diri sendiri dan Anda melalui artikel ini. Semoga ini tidak dipahami sebagai ekspresi kenyinyiran atau iri hati. Namun, bila ada yang beranggapan seperti itu, tidak masalah juga. Bebas saja :)

- Tulisan: Arta Nusakristupa

Post a Comment for "Mengolok atau Diolok, Benarkah Hanya Itu Pilihannya?"