Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Ketika Orangtua Tak Mau Anaknya Belajar dari Kesalahan


Baru-baru ini, kita dihebohkan oleh beberapa kasus orangtua/wali murid yang tidak terima anaknya dihukum gurunya. Padahal, sudah jelas si murid melakukan kesalahan. Hebatnya, orangtua-orangtua yang over-protective malah balas menghukum gurunya.

Ada yang menarik jilbab sang guru dan menggunting rambutnya, karena guru itu sebelumnya memotong rambut anaknya yang dianggap terlalu gondrong. Ada yang melapor polisi perihal “ulah” sang guru. Ada guru yang disidangkan layaknya pelaku kriminal. Bahkan, ada guru yang sampai dipenjara karena orangtua-orangtua semacam ini.

Fenomena ini membuat dunia pendidikan kita sedikit muram. Memang, gaji guru tidak lagi rendah, tidak seperti zaman Omar Bakri dulu. Tapi bukan berarti para guru harus “tunduk” serendah itu kepada murid (dan orangtuanya), bukan? Bagaimanapun, guru adalah orangtua kedua. Harus disegani dan disayangi. Bukannya malah dikriminalisasi.

Tidak seperti dosen yang tugasnya hanya menyampaikan ilmu dan memberi ujian, guru juga memiliki tugas lainnya: mendidik. Tugas inilah yang membuat jam kerja mereka yang terlihat singkat (dibanding orang kantoran) itu tetap terasa penuh hari-hari lembur. Menguras tenaga dan mental.

Apalagi bila murid-muridnya nakal, kurang dalam hal menangkap pelajaran, sampai tidak punya uang untuk membayar SPP. Itu guru yang harus turun tangan, mencarikan solusi.

Lihatlah, guru juga rentan stres. Tidak adil bila kita tidak mau tahu kesalahan si murid, tapi langsung melabrak guru itu. Apalagi sampai melaporkannya ke polisi. “Saya menitipkan anak saya di sekolah ini bukan untuk disiksa, tapi dididik!” biasanya begitu dalih para orangtua pengadu itu.

Tapi mereka lupa, betapa sulitnya mendidik sekian banyak murid, dengan berbagai macam karakter. Cobalah berempati pada guru. Terutama bila sang guru reputasinya selama ini baik.

Bandingkan dengan semasa kecil kita dulu. Bagi generasi 90-an atau lebih senior dari itu, guru adalah sosok yang kita hormati. Kita patuh. Dijewer, ditabok, dipukul, dijemur, disuruh lari, sudah biasa. Mau mengadu ke orangtua? Malah ditambahi hukumannya!

Kalau murid sekarang? Dicubit membekas sedikit di kulit saja sudah mengadu ke polisi. Pakai pengacara, pula. Katanya tidak manusiawi. Melanggar HAM. Aduh, cemennya….

Pertanyaan kubu yang pro HAM itu mungkin, “Anda sendiri, apakah rela kalau suatu saat anak Anda yang dihukum seperti itu?”

Well, kalau memang si anak bersalah, kenapa tidak?

Meskipun tentu saja tidak ada jawaban mutlak di sini. Karena kita harus melihat kasus per kasusnya. Tapi kalau masalahnya hanya dijewer, dicubit, dibentak, disuruh lari, push up, atau lainnya, apanya yang melanggar HAM.

Bila sedikit-sedikit menuruti HAM, bisa-bisa anak kita sampai dewasa pun menjadi cengeng. Jempol kaki terinjak saja bisa menangis. Maukah anak kita jadi generasi tempe semacam ini?

Sampai kapan pun, reward and punishment dibutuhkan. Jangankan untuk murid sekolah, untuk orang dewasa pun harus ada sistem hukuman. Asalkan porsinya wajar, tidak sampai membahayakan kesehatan, menganggu mental, menimbulkan trauma, atau kematian. Asalkan juga, yang dihukum memang bersalah. Beginilah kehidupan!

Sekali lagi, anak nakal atau bersalah memang harus dihukum. Agar tahu bahwa dia bersalah. Kalau tak ingin anak kita didisiplinkan orang lain, maka harusnya kita cegah anak kita menjadi nakal. Atau, kita didik sendiri anak kita. Dengan sistem homeschooling, misalnya.

Namun cepat atau lambat, kita pasti akan menyadari, bahwa hukuman itu perlu. Bahkan hukuman yang keras. Supaya anak intropeksi. Kecuali bila Anda tidak ingin anak Anda belajar dari kesalahan-kesalahannya.


Di sisi orang tua atau wali murid, untuk meminimalkan risiko-risiko yang tidak diinginkan, hendaknya lebih cermat dalam memilih sekolah. Karena salah dalam memilih sekolah, bukan saja berakibat pada jebolnya kantong, melainkan juga pada mental anak kita.

- Tulisan: Arta Nusakristupa