Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

[Humor] Bumerang Hoaks buat Nenek Eling

Bumerang Hoaks buat Nenek Eling
Suatu hari, Desa Wufi dibuat geger. Dari perbatasan hutan, terdengar jeritan Eling Sulwaesi, “Macan, ada macaaaan… TOLOOOONG!”

Ireng Klentheng yang sedang bermain petak umpet di sana pun segera berlari balik ke desa, tanpa menghiraukan teman-temannya yang sudah menemukan persembunyian strategis masing-masing.

Di dekat Balai Desa, Ireng langsung membunyikan kentungan pertanda bahaya. “Mbah Eling diserang macan di hutan, MBAH ELING DISERANG MACAAAAAAN….” serunya sambil berulang-ulang memukul kentungan.

Warga pun berbondong-bondong mendatanginya. Tidak perlu waktu lama bagi warga untuk berkumpul sambil membawa palu, parang, celurit, batu, dan sebagainya. Meskipun tidak yakin di Hutan Wufi masih ada macan, mereka pun berangkat ke perbatasan Hutan Wufi.

Namun, di sana, mereka malah merasa heran. Kenapa tidak terdengar auman macan sama sekali? Bahkan, kenapa yang terlihat hanya nenek-nenek yang duduk santai di bawah pohon besar?

“Mana macannya, Bu Eling?” tanya Kentang Ketintang.

Bukannya menjawab, Eling malah tergelak-gelak sejadinya. “Wuahahaha, ketipu semua! Ketipuuuuuu….” ucapnya tanpa merasa bersalah. “Makanya, Sabtu-Sabtu gini jangan terlalu stres. Kendurin dikit, kenapa?”

Orang-orang saling pandang. Lalu, Benhur Deniro, Gombloh Mukio, Kentang, Ustaz Razad, Ireng, dan kawan-kawan pun ikut tertawa. Mereka merasa bodoh karena mudah saja tertipu.

Hari berganti, pekan pun berlalu.

Pada hari Kamis, warga kembali mendengar jerit panik Nenek Eling di perbatasan hutan. Kali ini, yang mendengar adalah Kenes Monica yang kebetulan sedang libur kuliah. Sama seperti Ireng pekan lalu, dia juga langsung kembali ke desa, meninggalkan kayu-kayu bakar yang sudah dipungutnya tadi.

Kenes membunyikan kentungan. Hanya, mungkin karena ini hari kerja, hanya sedikit warga yang datang merespon. Hanya ada tiga orang: Ustaz Razad, Benhur, dan Rindu Asmarandah.

“Nenek Eling, kayaknya diserang harimau,” papar Kenes.

“Hahaha… bocah tua nakal itu mau mempermainkan kita lagi, rupanya,” Benhur sinis.

“Tapi kali ini, kayak betul-betul panik, Mbah Benhur! Mungkin beliau sungguh-sungguh dalam bahaya, kali ini.”

“Gila saja kalau kita ketipu lagi!” timpal Rindu.

“Tapi suaranya seperti benar-benar… kayak panik. Serius….”

“Halah!” Benhur bergeming.

“Kalau Mbah Eling diterkam harimau beneran, sampean mau bertanggung jawab?” tantang Kenes.

Semua terdiam.

Lalu Ustaz Razad menengahi, “Ya sudah, kita ke sana saja dulu. Daripada ambil risiko nyawa warga. Ayo!”

Mereka pun segera menuju Hutan Wufi. Cuma kali ini, mereka berjalan saja dan tidak membawa senjata apa-apa.

Sesampainya di hutan, suasana sepi. Hati semua orang was-was. Jangan-jangan, Eling sudah tewas dan bersemayam di perut harimau. Mereka pun mempercepat langkah.

Akhirnya, mereka berhasil menemukan Eling di pinggir sungai. Keadaannya segar bugar, dengan wajah cengengesan.

“Mana harimaunya, Mbah?” tanya Kenes yang merasa tidak enak.

“Memangnya,” Eling pasang tampang bodoh, “Hari mau apa? Hari, kan, masih sekolah! Hoahahahaha….”

Ustaz Razad menghela napas. Menahan geram, dia menegur Eling, “Astagfirullah, Mbaaaah! Coba jangan main-main dengan urusan yang seperti ini. Berbohong itu dosa, Mbah!”

“Lo, saya cuma latihan sandiwara, Ustaz. Kok, pada serius, sih? Saya tidak ada niat berbohong.”

“Sandiwara, sandiwara! Jangan di hutan kalau mau sandiwara macan-macanan begini. Dikira beneran, tahu!” damprat Benhur.

“Memang salah?” Eling balas memelotot. “Kalian yang mestinya lebih pintar. Di zaman internet gini, kok, masih percaya hutan kita ada macannya. Mikiiiiir… Kalian itu harus cerdas membedakan, mana hoaks, mana fakta. Literasi kalian harus tinggi. Tahu literasi, nggak?”

“Heh!” Benhur berkacak pinggang. “Jangan ceramah terasi-terasi di sini. Ustaz saja yang profesinya penceramah saja nggak ceramah dalam keadaan begini. Kok, kamu yang bikin gara-gara malah sok-sok menasihati!”

“Bukan begitu, jadi warga itu yang cerdas, Hur, Benhur,” suara Eling merendah. Tetapi nada suaranya tetap terkesan merendahkan. “Ketipu, kok, sampai dua kali, hihihi…. Tapi, oke, saya minta maaf, deh, sama kalian. Lihat, saya kesatria, bukan? Mau mengakui kesalahan….”

Eling mengulurkan tangan kanannya. Namun, Benhur dan kawan-kawan melengos. Mereka langsung kembali ke desa begitu saja.

Begitulah kejadian tidak penting yang sempat mewarnai Desa Wufi akhir-akhir ini. Masalahnya selesai?

Tunggu dulu!

Sebulan berikutnya, di alun-alun desa pada Minggu pagi, kejadian yang sama berulang. Nenek Eling berteriak-teriak minta tolong. “Jambreeeet… jambreeeet…!”

Semua orang dalam radius 200 meter mendengarnya dengan jelas. Termasuk Ireng Klenteng dan Kenes Monica yang asyik bermain bulutangkis.

“Nes, kamu dengar juga, nggak? Nenek Eling? Dia kenapa?” tanya Ireng.

“Ah, kumat lagi isengnya,” jawab Kenes cuek sambil bersiap-siap melakukan servis. “Udah, nggak usah didengar! Ini berapa-berapa, tadi? Oh, 20-14, ya? Game point, dong? Hahaha….”

“Ya, ya, ya, ayo cepetan!” desak Ireng. “Kuhajar kamu di babak kedua, ya!”

Bukan Ireng dan Kenes saja yang mengabaikan teriakan Eling Sulwaesi, pagi itu. Hampir semua orang di alun-alun pura-pura tidak mendengar jeritan parau nenek 70 tahun itu.

Sampai setengah jam kemudian, Eling muncul ke alun-alun. Wajahnya lesu, jalannya gontai, pakaiannya compang-camping.

“Dari mana, Ling?” tanya Benhur sambil membalik lembar korannya.

“Kantor polisi!”

“Lo, ada apa?”

“Laporan… aku baru dijambret, kupret!” bentak Eling penuh getar-getar emosi. “Tasku berisi uang 1.200.000 amblas. Sudah teriak-teriak sampai habis suaraku, kenapa kalian nggak menolong, heh? Budek semua, BUDEEEEK…!!”

Orang-orang di sana sebenarnya mau tertawa mendengar itu, tetapi takut dosa karena menertawakan musibah orang lain. Jadi, masing-masing kembali ke aktivitasnya. Seolah-olah, tidak terjadi apa-apa pagi itu.