Kakak-Adik yang (tidak) Kompak
Ketidakkompakan kakak adik kadang lucu juga. |
Ini cerita sudah belasan tahun yang lalu. Tapi saya masih suka tersenyum-senyum sendiri mengingatnya. Suatu hari, saya pernah mencoba membangun kedekatan dengan adik saya. Yah, niatnya supaya hubungan kakak-adik menjadi lebih akrab. Ide saya, sesederhana menjemputnya sepulang sekolah. Meski sebenarnya adik saya itu sudah berlangganan mobil antar-jemput.
Biar berkesan kejutan, saya sengaja tak memberi tahu bahwa siang itu saya berniat menjemputnya. Singkat cerita, jadilah saya berdiri menunggu di samping pagar sekolah. Sambil sedikit bersembunyi karena takut membongkar kejutan itu.
Setelah jam sekolah berdentang panjang pertanda pelajaran terakhir usai, dari liang persembunyian, mata saya langsung sigap mengamati anak-anak yang tingginya hampir sama semua itu berhamburan keluar dari kelas-kelas. Seperti sarang semut yang habis diasapi.
Baru saya sadar, betapa sulitnya menemukan adik sendiri di antara semut putih-biru itu. Yang cowok imut semua, yang cewek centil semua. Sambil melirik ke sana-kemari, saya coba bayangkan adik saya terselip di antara teman-temannya, lalu saya panggil namanya. Dia pasti terkejut dan tertawa berderai melihat kakaknya tiba-tiba nongol.
Tapi imajinasi saya tidak ada tanda-tanda menjadi kenyataan. Kerumunan murid-murid SMP itu mulai terurai. Sebagian pulang, sebagian menyerbu bakul pentol dan cakwe, makanan yang sering diceritakan adik saya ketika di rumah, sebagian menuju musala. Di antara beberapa gelintir yang tersisa itu, sumpah, saya tidak bisa melihat adik saya. Hubungan kakak adik macam apa ini?
Di lain sisi, demi menjaga unsur surprise, saya tidak mau menanyakan kepada anak-anak itu atau penjaga sekolah apakah mereka melihat adik saya.
Ada kemungkinan lain, sebenarnya. Mungkin adik tercinta saya masih di kelas, sedang memasukkan buku-bukunya ke dalam tas dan malas untuk keluar kelas lantara berdesak-desakan. Oke, santai saja, kalau begitu. Saya akan tunggu di sini.
Sepuluh menit... Lima belas menit...
Murid-murid yang tadi tersisa sekarang hampir semuanya sudah pulang. Saya melihat, sebagian memilih naik becak, sebagian berjalan kaki. Para penjemput pun sudah tinggal saya seorang.
Aduh, sudah setengah jam lebih...
Seorang penjaga kampus tampak berjalan mendekat. Menuju pagar. Di tangannya tertenteng sebendel kunci. Saya tahu, pintu pagar kampus segera digembok. Tidak mungkin adik saya masih di dalam.
“Masih ada orang, Pak?” tanya saya.
“Kosong. Sampeyan jemput siapa?” tanyanya dalam bahasa Jawa halus.
“Waduh, kayaknya sudah pulang anaknya! Ya udah, Pak. Terima kasih.”
Waktu itu teknologi ponsel belum populer. Sudah ada beberapa, tapi harganya mahal. Dan kami bukan keluarga yang mampu membelinya. Saya menyerah. Saya pun pulang dengan tangan hampa.
Sesampainya di rumah, barulah saya tahu kenapa misi saya menjemput adik di sekolah dan memberi kejutan di hari ulang tahunnya gagal total. Ternyata, saya telah menunggunya di pintu yang salah!
Setahun sebelumnya, ketika dia masih duduk di kelas 7, saya mengantarnya ke pintu yang sama. Sebagai seorang kakak, saya tidak update kalau adik saya yang saat itu kelas 8 pintu keluarnya berbeda.
Saya ceritakan semua itu. Adik dan ibu saya terpingkal-pingkal. Membuat saya malu sendiri. Tapi, akhirnya saya mendapat ciuman sayang dari adik saya. Terpaksa, rencana mentraktirnya di rumah makan padang saya lanjutkan. Padahal tadinya, saya pikir kejutan gagal ya traktirannya ikut batal. Hehehe...
Post a Comment for "Kakak-Adik yang (tidak) Kompak "
Butuh artikel-artikel semacam ini? Atau, punya ide membuat buku tetapi kurang bisa menulis? Tidak sempat? Kami bersedia membantu menuliskannya secara profesional. Kami juga menyediakan jasa editing maupun rewriting tulisan dalam bahasa Indonesia maupun Inggris.