Orang Baik yang Hebat Tinggal Berapa?
Orang baik makin langka di negeri ini |
Di tengah karut marut politik belakangan ini, tahukah Anda, sebentar lagi kita akan merayakan pesta demokrasi. Pesta? Bukan, bukan. Dulu, Pemilu mungkin memang sebuah pesta. Partai, calon pemimpin, dan rakyat antusias menyambutnya. Tapi sekarang, yang heboh menjelang Pemilu ya orang-orang partai sendiri. Sementara rakyat, biasa-biasa saja, bahkan cenderung menganggap kegiatan mencoblos adalah beban. Bikin malas! Sebab, mereka sudah tak tahu lagi, mana orang baik, dan mana orang bau.
Orang hebat di negeri ini banyak jumlahnya. Sangat banyak, bahkan! Tapi orang hebat yang juga orang baik, rasanya cuma segelintir. Malah saya curiga, kian hari kian menyusut jumlahnya. Padahal kebutuhan Indonesia akan “subspesies” ini begitu mendesaknya.
Seseorang bisa sangat hebat dan baik di masa lalu, namun belum tentu seterusnya begitu. Anas Urbaningrum, contohnya. Saya punya teman yang sempat jadi adik kelasnya. Dulu sama-sama aktivis. Anas orangnya sangat baik, aku teman saya itu. Di kampusnya, dia dikenal sebagai mahasiswa kurang dana tapi pede. Punya prinsip dan disiplin belajar yang kuat. Juga aktivis kerohanian yang rajin dan saleh. Hatinya lurus, otaknya jenius.
Namun, waktu berjalan. Tengoklah Anas sekarang. Banyak orang yang mencemoohnya. Menunggunya digantung di Monas, sebagaimana janjinya dulu kalau dia terbukti korupsi.
Selain Anas, saya punya setumpukan contoh kasus lainnya. Kebaikan orang-orang hebat yang tiba-tiba luntur. Setelah lulus dari kampus atau sekolah, orang-orang baik itu meniti karir sebagai pegawai rendah di instansi-instansi. Tahun demi tahun, dia lewati dengan menjadi orang “kecil” yang berintegritas.
Orang baik lainnya mencoba berwirausaha. Memulai bisnis kecil dengan modal receh, namun dengan semangat besar. Semua dijalani dengan disiplin dan sinar mata penuh semangat. Hingga takdir memutuskan, “Oke, orang ini layak menjadi pengusaha besar!” Sukses sebagai pebisnis hebat, dia termotivasi menjadi pejabat, supaya portofolionya lebih lengkap. Dan, ternyata cocok! Dia mendapati bahwa syarat pokok untuk masuk bursa calon pejabat sudah dia kantongi: duit.
Yah, semua orang mempunyai rintangan hidupnya sendiri-sendiri, dengan etape hidup yang berbeda-beda.
Sayang sekali, di etape puncak, banyak orang baik dan hebat jatuh berguguran, bersimbah peluh dan airmata. Gubernur, bupati, kepala dinas, pimpinan BUMN, pejabat partai (dengan basis ideologi Islam sekalipun), ketua Mahkamah Agung, pilot, anggota DPR yang mantan model, jenderal, hingga Ketua KPK pun duduk memelas di kursi pesakitan. Betapa banyak orang hebat di negeri ini gagal mempertahankan kebaikannya.
Kalaupun masih ada yang mempertahankan kebaikan dan integritasnya sebagai pelayan rakyat, orang-orang seperti ini justru dibenci. Kasus teraktual adalah Tri Rismaharini, Wali Kota Surabaya yang coba disingkirkan oleh partai pengusungnya sendiri: PDIP. Sudah sedemikian parahkah sistem politik di republik ini.
Tiap 30 Agustus, kita memperingati Hari Orang Hilang Internasional. Kita pun mengingat Munir yang diracun, Wiji Thukul yang entah dimana jasadnya, para mahasiswa dan aktivis yang diculik pada 1997-1998. Ada rasa kehilangan yang begitu dalam manakala kita ingat orang-orang itu. Mereka tidak hanya hebat, tapi sesungguhnya adalah orang-orang baik.
Kita punya banyak demonstran. Tapi demonstran yang tak mengharap bayaran seperti Wiji Thukul hanya sedikit jumlahnya. Demonstran sekarang? Kerap bertengkar dengan korlap (koordinator lapangan) karena upah demo tidak sesuai yang dijanjikan. Kita juga sering dengar seorang agen demonstran dihardik kliennya karena massa yang didatangkan tak sebanyak yang tertulis di proposal.
Mengenang demonstran kritis Wiji Thukul dan aktivis hukum Munir adalah mengenang orang baik yang nyawanya dihilangkan secara sistematik. Piranti intelijen negara diduga kuat terlibat di dalamnya. Kehilangan orang hebat sekaligus baik seperti Munir sama juga kehilangan harapan. Karena kita sangat tidak yakin ada praktisi hukum dan keadilan lain yang bersih sekaligus pemberani seperti Munir.
Kelangkaan orang baik sekaligus hebat di bidang hukum dipertontonkan juga di kasus Mulyana W. Kusumah. Kita mengenalnya bukan cuma dari tubuhnya yang tipis dan rambutnya yang gondrong, melainkan juga dari kegigihannya saat membela rakyat dalam banyak kasus hukum. Namun, setelah pengadilan membuktikan Mulyana terlibat korupsi di KPU, tiba-tiba dada ini terasa sesak. Yah, kita kehilangan orang baik lagi, Kawan.
Orang-orang baik di negeri ini terus-terusan diculik, dibunuh, dan diracun. Sebagian orang-orang baik lainnya sengaja disingkirkan oleh orang-orang bau karena tidak sevisi. Sebagian lagi malah kehilangan integritasnya sendiri lantaran tergoda mengambil sesuatu yang bukan haknya.
Mungkin karena sistem pemerintah yang bobrok, membuat orang yang mulanya baik terbujuk menjadi ikut bobrok. Entah karena orang baik itu sebenarnya bobrok, tapi selama ini pandai menyembunyikan keburukan-keburukannya di depan kita. Entah.
Yang jelas, orang baik, terutama yang hebat, semakin punah di bumi pertiwi ini. Dan April nanti, kita disuruh memilih di antara sekian stok yang ada untuk menjadi wakil kita. Memilih yang terbaik di antara yang buruk bukanlah pekerjaan mudah. Tidak memilih alias golput barangkali lebih mudah. Tapi risikonya, alih-alih mendapat pimpinan yang buruk, bisa-bisa malah mendapat pimpinan yang terburuk di antara yang terburuk. Ah, serba salah hidup di Indonesia.
Post a Comment for "Orang Baik yang Hebat Tinggal Berapa?"
Butuh artikel-artikel semacam ini? Atau, punya ide membuat buku tetapi kurang bisa menulis? Tidak sempat? Kami bersedia membantu menuliskannya secara profesional. Kami juga menyediakan jasa editing maupun rewriting tulisan dalam bahasa Indonesia maupun Inggris.