Pelacuran Surabaya: Ditekan secara Fisik, Malah Menjamur secara Daring
Surabaya sekarang bersih dari kegiatan esek-esek, berkat komitmen pemerintahannya memberantas prostitusi. Padahal, sebelumnya Surabaya sempat terkenal sebagai pusat kegiatan dewasa terbesar se-Asia Tenggara.
Namun, apakah efektif?
Usaha Tante Dolly berkembang dengan menjamurnya wisma-wisma yang didirikan para muncikari lain di sana. Tempat ini kemudian menjadi lokalisasi kelas utama di Surabaya. “Barang”--sebutan untuk PSK di lokalisasi Dolly--di sana pun terhitung segar dan muda-muda.
Demi kepraktisan, para aktivis Dolly tinggal di kampung dekat Gang Dolly, namanya Kampung Jarak. Para penjaja seks ini lambat laun memenuhi Kampung Jarak, hingga sulit untuk membedakan mana rumah PSK dan mana yang bukan. Para warga sampai memasangi tulisan “Rumah Tangga” di atas pintunya.
Kampung ini sekarang kita kenal dengan nama kawasan lokalisasi Jarak. Saat ini, yang dimaksud lokalisasi Dolly adalah lokasisasi di wisma depan dari Jalan Putat Jaya yang bisa dilalui oleh mobil.
Sedangkan yang disebut dengan lokalisasi Jarak adalah wisma-wisma yang berada di dalam gang-gang kampung. Untuk mencapainya, kita perlu berjalan kaki karena lebar jalannya dua meter saja.
Namun jika ditelisik lebih jauh, berkurangnya para penghuni Dolly dan Kremil rasanya lebih karena tak bisa dilokalisasinya para PSK akibat perkembangan teknologi komunikasi. Para pramunikmat hari ini tidak perlu lagi mangkal di lokalisasi hanya untuk mendapatkan klien. Mereka cukup menunggu di kos atau rumah dan menerima pesanan lewat telepon atau aplikasi obrolan.
Sebagian dari mereka biasa mangkal di tempat-tempat umun seperti mal, diskotik, klab malam, dan memiliki kode-kode tertentu yang hanya diketahui oleh sesama PSK dan para hidung belang. Mereka ini biasanya dikenal juga dengan cewek panggilan atau (maaf) perek.
Transaksi pun tak lagi dilangsungkan tatap muka, tetapi bisa dilayani secara daring (online), untuk kemudian dieksekusi dengan jumpa darat. Parahnya, cara seperti ini dianggap lebih tinggi kelasnya. Di Dolly, harga PSK, katakan, dipatok 200 ribu.
- Tulisan: Ihsan Maulana, peneliti masalah sosial
Sejarah Prostitusi di Surabaya
Di Surabaya, prostitusi sudah ada jauh sebelum kota ini menjadi pusat perdagangan Indonesia Timur.
Jaringan prostitusi tersebut makin menggurita saat seorang menir Belanda bernama Dolly, yang awalnya adalah seorang Pekerja Seksual Komersial (PSK) kelas kakap di kawasan Eropa di daerah Jembatan Merah Surabaya, memutuskan menjadi seorang muncikari.
Ia mendirikan sebuah wisma di daerah yang sekarang dikenal sebagai Gang Dolly.
Usaha Tante Dolly berkembang dengan menjamurnya wisma-wisma yang didirikan para muncikari lain di sana. Tempat ini kemudian menjadi lokalisasi kelas utama di Surabaya. “Barang”--sebutan untuk PSK di lokalisasi Dolly--di sana pun terhitung segar dan muda-muda.
Demi kepraktisan, para aktivis Dolly tinggal di kampung dekat Gang Dolly, namanya Kampung Jarak. Para penjaja seks ini lambat laun memenuhi Kampung Jarak, hingga sulit untuk membedakan mana rumah PSK dan mana yang bukan. Para warga sampai memasangi tulisan “Rumah Tangga” di atas pintunya.
Kampung ini sekarang kita kenal dengan nama kawasan lokalisasi Jarak. Saat ini, yang dimaksud lokalisasi Dolly adalah lokasisasi di wisma depan dari Jalan Putat Jaya yang bisa dilalui oleh mobil.
Sedangkan yang disebut dengan lokalisasi Jarak adalah wisma-wisma yang berada di dalam gang-gang kampung. Untuk mencapainya, kita perlu berjalan kaki karena lebar jalannya dua meter saja.
Dengan tarif yang terjangkau, lokalisasi Jarak berkembang pesat ke segala penjuru Surabaya. Dalam pengamatan penulis, setidaknya ada 30 titik lokalisasi. Beberapa di antaranya Dolly, Jarak, Kremil, Bangunsari, Moroseneng, Embong Malang, Demak, Rel Sepur, Jagir, Pattaya, Dupak, Panglima Sudirman, Sengseng, Kembang Kuning, Diponegoro, dan Kramat Gantung.
Pelacuran Pun Dijajakan via Daring
Menurut laporan Harian Jawa Pos, jumlah penguni wisma di Dolly dan Jarak berkurang dari tahun sebelumnya. Begitu pula di lokalisasi Kremil. Bahkan belakangan, Wali Kota Surabaya Tri Risma melakukan serangkaian gerakan untuk menutup lokalisasi-lokalisasi legendaris di kota buaya ini. Antara lain menutup lokalisasi Kremil dan Bangunsari.Namun jika ditelisik lebih jauh, berkurangnya para penghuni Dolly dan Kremil rasanya lebih karena tak bisa dilokalisasinya para PSK akibat perkembangan teknologi komunikasi. Para pramunikmat hari ini tidak perlu lagi mangkal di lokalisasi hanya untuk mendapatkan klien. Mereka cukup menunggu di kos atau rumah dan menerima pesanan lewat telepon atau aplikasi obrolan.
Sebagian dari mereka biasa mangkal di tempat-tempat umun seperti mal, diskotik, klab malam, dan memiliki kode-kode tertentu yang hanya diketahui oleh sesama PSK dan para hidung belang. Mereka ini biasanya dikenal juga dengan cewek panggilan atau (maaf) perek.
Transaksi pun tak lagi dilangsungkan tatap muka, tetapi bisa dilayani secara daring (online), untuk kemudian dieksekusi dengan jumpa darat. Parahnya, cara seperti ini dianggap lebih tinggi kelasnya. Di Dolly, harga PSK, katakan, dipatok 200 ribu.
Via telepon, satu kali kencan bisa mencapai jutaan rupiah untuk "kencan satu malam".
Jadi, selain upaya penutupan lokalisasi, kalau Pemkot memang niat menyusutkan angka pelacuran atau prostitusi, perlu juga dibuat seperangkat kebijakan untuk mencegah prostitusi terselubung seperti ini. Apalagi, saat ini, menemukan PSK di bawah umur bukan lagi perkara yang sulit melalui internet. Sungguh memiriskan.
Belum lagi layanan private sex yang suka atau tidak suka sudah disediakan oleh pengelola hotel di berbagai wilayah Surabaya. Tanpa political will yang kuat, upaya penutupan lokalisasi hanya akan mempercepat digitalisasi prostitusi. Dan itu akan makin sulit dikendalikan.
Jadi, selain upaya penutupan lokalisasi, kalau Pemkot memang niat menyusutkan angka pelacuran atau prostitusi, perlu juga dibuat seperangkat kebijakan untuk mencegah prostitusi terselubung seperti ini. Apalagi, saat ini, menemukan PSK di bawah umur bukan lagi perkara yang sulit melalui internet. Sungguh memiriskan.
Belum lagi layanan private sex yang suka atau tidak suka sudah disediakan oleh pengelola hotel di berbagai wilayah Surabaya. Tanpa political will yang kuat, upaya penutupan lokalisasi hanya akan mempercepat digitalisasi prostitusi. Dan itu akan makin sulit dikendalikan.
- Tulisan: Ihsan Maulana, peneliti masalah sosial
Para penghuni dolly sekarang berpindah tempat dari kampung jarak ke kampung 'faceb00k'..
ReplyDelete