Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Menjadi Profesor saat Berpromosi, Perlukah?

Sederhanakan hal-hal rumit, bukan sebaliknya
- Oleh Ino Permana

Sobat, pernahkah Anda membaca konten website atau fanpage Facebook yang berisi kata-kata teknis dan penjelasan yang terlalu akademis? Kita sebagai pembaca harus mengeryitkan dahi untuk mencernanya. Puyeng. Perlu waktu lama untuk memahaminya. Itu pun belum tentu paham. Padahal website ataupun page tersebut positioningnya untuk orang umum.

Selamat, Anda baru saja “dipameri kecerdasan” oleh pemilik brand. Bagaimana perasaan Anda? Hehehe… Kenapa mereka merasa perlu memamer-mamerkan kecerdasannya? Mungkin, saya hanya bisa menduga mungkin, mereka ingin dipandang sebagai orang yang benar-benar ahli di bisnisnya.

Lantaran ingin memperihatkan kesan sebagai profesor (spesialis yang sangat mumpuni) di bidangnya, mereka memasukkan kata-kata “keren” yang hanya dapat dimengerti oleh sesama profesor. Tentu saja ini malah membuat web, fanpage atau Twitter untuk bisnisnya seperti jurnal orang-orang kuliahan.

Terbatas. Untuk kalangan sendiri!

Mungkin ada beberapa dari pembaca artikel ini yang berpendapat, apa salahnya seperti itu? Bukankah dengan begitu, pelanggan atau calon pelanggan jadi semakin yakin bahwa yang mereka hadapi benar-benar pakar di bidangnya?

Masalahnya, konsumen biasanya adalah orang umum yang hanya perlu problemnya teratasi. Mereka tidak butuh njelimet-njelimet memahami detail dan teknis persoalannya. Konsumen menyerahkan hal-hal seperti itu kepada Anda, selaku penyedia produk atau jasa. Selebihnya, mereka harusnya terima beres karena sudah keluar uang.

Saran saya, kecuali bila target konsumennya memang sesama profesor, cobalah membuat konten yang mudah dimengerti oleh masyarakat umum. Terutama, berfokuslah pada solusi untuk orang lain.

Contohnya, dalam iklan minyak pelumas mesin dengan teknologi terkini. Kalau targetnya sesama profesor, iklannya boleh begini, “Oli X menggunakan zat H4SO9, memastikan terjadinya reaksi kimia untuk menghasilkan senyawa Blast-41 generasi ketiga, sehingga membuat mesin Anda tidak aus sampai setidaknya dua kali umur mekaniknya.”

Tapi coba bayangkan, model konten seperti itu dalam kampanya iklan di TV atau koran. Ada berapa orang yang mau membeli oli tersebut? Isi iklannya saja tidak mengerti, tidak paham manfaat riil produk itu apa, bagaimana mau membeli produknya?

Orang-orang marketing yang berpengalaman sudah cukup cerdas untuk tidak pamer kecerdasan secara berlebihan. Mereka justru cenderung membuat iklan renyah yang mudah dipahami oleh awam, tanpa mengorbankan kesan canggih teknologi yang diusung produknya.

Dalam iklan tadi, misalnya, mereka menganalogikan oli tersebut sebagai seekor cicak yang akan selalu menempel di dinding. Jika oli itu selalu menempel di mesin seperti itu, tentu mesin akan senantiasa terlindungi dari gesekan-gesekan yang mengakibatkan keausan. Ilustrasi ini lebih mudah dipahami oleh awam, bukan?

Jadi, mari kita cek kembali konten-konten kita. Bila tidak cukup sederhana untuk dapat cepat dipahami khalayak, mari kita sederhanakan.

Post a Comment for "Menjadi Profesor saat Berpromosi, Perlukah?"