Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Keberpihakan dalam Memilih Tempat Makan

- Oleh Ihsan Maulana

Ada banyak hal yang bisa kita petik hikmahnya dari seorang teman. Contohnya kawan saya. Dia seorang calon doktor di Jakarta. Tiba-tiba, perut kawan saya itu berbunyi ketika kami duduk-duduk menunggu kereta di Stasiun Pasar Senen. Dia mengaku belum makan dan sekarang mulai kelaparan.

Saya segera menawari dia makan di Es Teler 76, tapi dia menggeleng. Saya ajukan Dunkin Donuts, dia menolak. Mungkin ini masalah selera. Maka saya suruh dia memilih restoran-restoran apapun yang dia mau di area stasiun. Lagi-lagi, kawan saya itu bergeming.

“Terus, mau makan apa?” saya penasaran.

Jawabannya sungguh mengagetkan saya, “Kita cari warung di Terminal Senen saja.”

Kemudian, dia mengajak saya berjalan menuju terminal. Seperti yang kita tahu, namanya terminal, sering baunya pesing, becek, dan rungsep. Tapi kawan saya itu malah terlihat nyaman-nyaman saja.

Saya heran juga. Setahu saya, dia orang kaya, anak pejabat. Saat saya bertanya mengapa dia memilih warung yang berdesakan, sementara dia mampu bersantap siang lebih layak di restoran jaringan, dia menjawab, “Ini bukan sekadar masalah harga, Bro. Ini masalah keberpihakan.”

Aduh, malu rasanya diri ini mendengar jawabannya. Kita memang bisa saja memilih makan dimana saja. Dompet kita barangkali sanggup saja. Namun, apakah kita memperhatikan kemana uang kita mengalir.

Apakah ke pedagang-pedagang kecil yang memang membutuhkannya?

Ataukah ke bos-bos bermodal besar yang selalu siap berekspansi ke tempat lain?

Sebuah sikap selektif yang anti mainstream. Sebuah keberpihakan yang terkesan remeh. Tapi cukup mendalam bila kita mau menelaahnya.

NB: Foto diambil dari sini.

Post a Comment for "Keberpihakan dalam Memilih Tempat Makan"