Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Komunitas Sejati Bukan di Dunia Maya

Komunitas berfungsi untuk keakraban dan solidaritas
- Oleh Ino Permana

Kalau dihitung-hitung, saya nyemplung di komunitas bisnis sudah hampir satu dasawarsa. Mulai tahun 2005, saya bersama teman-teman membesarkan sebuah komunitas pengusaha dari nol. Dulu, pertemuan kami adakan dua minggu sekali, berpindah-pindah dari satu rumah ke rumah lain. Yang hadir paling banter belasan orang. Sekarang, setiap ngumpul, ada sekitar 50 orang.

Pertanyaannya mungkin, kok masih mau ya pengusaha-pengusaha itu berkumpul? Memangnya ada waktu? Memangnya apa manfaatnya berkomunitas? Apa sih yang menjadi daya tarik dari sebuah komunitas?

Pasti setiap orang memiliki alasan masing-masing. Saya sendiri, dari dulu, memang senang berkumpul-kumpul. Senang juga melihat komunitas yang membesar sedikit demi sedikit. Karena saat itu saya termasuk salah satu pengurus di Surabaya, jadi ada perasaan bangga juga.

Di samping itu, rasanya ada kesenangan tersendiri melihat dinamika teman-teman sesama pengusaha yang belum sukses, sedang akan sukses dan sudah sukses iru saling berbagi cerita, menumpahkan unek-unek, saling gojlok, dan memberi nasehat ketabahan bila lagi ada yang bermasalah. Itu semua, bagi saya, adalah obat stres dalam menghadapi lika-liku bisnis.

Daripada stres memikirkan bisnis, lebih baik berkumpul bersama teman-teman dekat, bukan? Teman-teman yang saya maksud ini datang dari beragam latar belakang bisnis. Ada yang harus bekerja sendiri karena belum mampu menggaji karyawan. Ada yang kerepotan mengatur ratusan karyawannya.

Ada yang masih kelas penjual susu kedelai di pinggir jalan, yang harus bolak-balik mengambil dan menaruh botol susunya ke setiap titik penjualan dan pelanggan. Ada pula yang berbisnis properti dengan omzetnya yang tentu saja minimal ratusan juta.

Yang jelas, mereka pengusaha yang terus bekerja keras. Hebatnya, mereka tidak terlalu memandang perbedaan omzet. Yang penting niatnya kumpul-kumpul, berjejaring, bersilaturahin dan saling berbagi.

Lantaran sering berkumpul, kami jadi cukup terkenal. Para pengurus komunitas sudah terbiasa diundang berbagi ilmu dalam seminar-seminar kewirausahaan atau diwawancarai media massa.

Sampai-sampai, komunitas kami akhirnya teken kontrak dengan stasiun televisi lokal. Anggota komunitas pun secara bergiliran seminggu sekali masuk dalam tayangan kewirausahaan dalam televisi itu.

Kami sampai membuat program semacam The Apperentice-nya Donald Trump untuk sekup Jawa Timur. Para pengurusnya menjadi juri dan mentor bagi para calon pengusaha (peserta) di tayangan realitas tersebut.

Itulah salah satu manfaat dari konsistensi membangun sebuah komunitas bisnis, yaitu dengan merutinkan pertemuan secara offline. Saya tidak bisa membayangkan, kalau sebuah komunitas hanya online dan malas untuk kopi darat, apa mungkin mereka bisa sekuat itu keakraban, kekompakan serta solidaritasnya?

Keakraban, kekompakan serta solidaritas dibangun lewat saling percaya. Bagaimana mungkin ada saling percaya kalau mengetahui bentuk suara dan gaya bicara teman-temannya saja belum pernah? Saya kira, secanggih-canggihnya dunia online, tidak akan bisa menggantikan atau membeli sebuah ikatan emosional yang riil.

Post a Comment for "Komunitas Sejati Bukan di Dunia Maya"