Tren Properti Syariah yang Kian Meriah
Sandang, pangan, dan papan. Itulah kebutuhan manusia. Yang terakhir disebut, yaitu papan alias rumah, bisa jadi merupakan kebutuhan terbesar manusia modern sepanjang hidupnya. Dengan semakin sempit, semakin mahal pula harga properti. Namun, bukan berarti peminatnya menurun. Pembeli properti justru terus tumbuh. Bahkan, kini ada properti syariah dengan skema yang menjanjikan passive income.
Dulu, orang membeli properti, kalau tidak untuk hunian atau bisnis akomodasi, ya untuk perkantoran atau perniagaan. Kalau tidak untuk dimiliki, ya diwariskan ke anak-cucunya atau ditunggu harganya naik sebelum kemudian dijual kembali. Namun belakangan, pengembang (developer) semakin cerdik, terutama pengembang syariah.
Mereka memanfaatkan “cacat” dari perdagangan properti konvensional. Terutama bila itu berkaitan dengan sistem pembayaran cicilan, yang memunculkan konsekwensi kontrak menjadi dua: jual-beli dan pinjam-meminjam. Dalam hukum Islam, satu transaksi dengan dua akad (kontrak) tidak diperkenankan.
Selain itu, muncul juga masalah baru yang terlarang dalam Islam: bunga bank (riba) dan denda atau penalti. Juga, kebijakan penyitaan rumah jika pembeli tidak sanggup membayar angsuran.
Pengembang properti syariah hadir bukan saja dengan solusi terhadap hal-hal tersebut, mereka juga tampil lebih kreatif dibanding pengembang properti konvensional. Produk-produknya dikemas dengan lebih menarik. Misalnya, kaveling kebun Kampung Buah Cikalong.
Di sana, pengembang menjual sebidang lahan sekaligus menanaminya dengan perkebunan mini, berisi pohon-pohon durian, kelengkeng, kurma, atau lainnya.
Awalnya, konsep ini sempat diragukan. Namun, seiring dengan semakin banyaknya kaveling-kaveling produktif yang berhasil terealisasi, pembeli mulai percaya. Bahkan banyak investor yang akhirnya berani berinvestasi besar-besaran di produk-produk semacam ini.
Kaveling kebun ini memang sangat memikat. Investor tidak perlu repot-repot menanam, merawat, dan mendistribusikan panenannya, tetapi tetap dapat hasilnya di tahun kedua.
Lantas, siapa pengelolanya? Pengembangnya sendiri, tentu dengan bekerja sama dengan tim agro yang profesional. Hasil panen akan dijual, kemudian dibagi secara adil antara pemilik, pengelola, dan pengembang kaveling.
Namun, pemilik sebenarnya tetap adalah investor. Sertifikat tanah itu akan dibalik nama atas nama pembeli kaveling. Ketika kontrak kerja berakhir, pembeli bisa memutuskan untuk memperpanjang kerja sama atau mengelola lahannya sendiri.
Dengan begini, penghasilan properti syariah bukan hanya dari selisih harga jual (capital gain), melainkan juga hasil kebun tahunan. Menarik, bukan?
Lantaran sistemnya yang menjanjikan, apalagi harga per kavelingnya juga terjangkau (di kisaran puluhan juta untuk tanah seluas 150 meter persegi), banyak yang kesengsem. Bahkan ada beberapa proyek properti yang ratusan unitnya laku hanya dalam waktu sebulan. Lalu di bulan ketiga, semua unit proyek itu ludes terjual!
Bagaimanapun, jangan dianggap semua model properti syariah seperti itu. Ada juga pengembang yang berjualan rumah cluster untuk tempat tinggal biasa. Apapun produk yang ditawarkan, properti syariah selalu menggunakan cara-cara islami dalam praktik jual-belinya. Dan sepertinya, sekarang memang eranya bisnis syariah.
- Tulisan: Arta Nusakristupa