Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Sisi Kelam Google Menurut Buku Google Leaks

Sisi Kelam Google Menurut Buku Google Leaks
  • Judul: Google Leaks
  • Subjudul: A Whistleblower's Exposé of Big Tech Censorship
  • Penulis: Zach Vorhies, Kent Heckenlively
  • Penerbit: Skyhorse Publishing, New York
  • ISBN: 9781510767379
  • Tebal: 208 halaman
  • Terbit: Agustus 2021

Google telah menjadi bagian dari kehidupan modern kita. Sering kita menggunakannya untuk mencari berita, pengetahuan, foto, gambar, juga video di internet. Bahkan berkirim email. Asyiknya, Google menggratiskan sebagian besar layanannya.

Namun menurut Zach Vorhies, mantan karyawan perusahaan raksasa ini, Google tidak semulia itu.


Berawal dari Kemenangan Donald Trump

Berawal dari Kemenangan Donald Trump

Pada November 2016, Vorhies berangkat kerja ke kantor Google di San Bruno, California. Seperti hari-hari biasa. Yang tidak biasanya adalah, pagi itu aura muram menyambutnya. Beberapa karyawan menangis. Ada pula yang mengambil cuti. Hanya karena semalam, Donald Trump terpilih menjadi presiden Amerika Serikat.

Kemuraman ini sungguh aneh di mata Vorhies. Bukankah dalam demokrasi, kandidat menang atau kalah itu sudah biasa? Suka atau tidak, kita cukup menerimanya dan melanjutkan hidup, alias move on. Seharusnya, sesederhana itu. Akan tetapi, tidak seperti itu pemikiran orang-orang Google hari itu.

Ketika mengikuti rapat mingguan yang disiarkan langsung dari kantor pusat Google di Mountain View, California, Vorhies makin sadar, situasi ini lebih serius dari dugaannya.

Banyak karyawan Google yang mengenakan topi perusahaan dengan baling-baling kecil di atasnya. Biasanya, topi ini untuk memicu kreativitas atau lucu-lucuan. Namun hari itu, tidak ada yang terlihat lucu bagi Vorhies.

Dalam rapat, Sergey Brin (salah satu pendiri Google) dan Kent Walker (Wakil Presiden Perusahaan) terang-terangan menyindir kemenangan Trump.

Seorang karyawan bahkan tanpa tedeng aling-aling kemudian bertanya, “Apa yang bisa perusahaan lakukan untuk mengatasi misinformasi dan berita-berita palsu yang menguntungkan Trump?”

Sundar Pichai, CEO Google, menjawab bahwa inilah kesempatan untuk mempercepat proyek sistem Machine Learning dan Artificial Intelligence (AI) milik Google. Sebab sejauh ini, sistem tersebut efektif membendung penyebaran hoaks.

Vorhies segera mencium gelagat buruk. Menurutnya, pembesar-pembesar Google sedang menyiapkan penyensoran yang dibungkus dengan kampanye antihoaks.

Namun, Vorhies tidak memiliki bukti apa-apa. Maka dari itu, dia mulai melakukan investigasi. Untungnya, Google adalah perusahaan yang transparan. Sebagian besar dokumen internalnya dapat diakses oleh karyawan-karyawannya.

Vorhies pun mulai mengubek-ubek kata kunci “berita palsu”. Lima temuan awalnya terdiri dari empat berita yang mengkritik Hillary Clinton, dan satu berita yang mendukung Trump. Vorhies curiga, jangan-jangan sistem Google memang dibuat untuk menguntungkan Clinton.

Cara Sistem Baru Google Bekerja

Cara Sistem Baru Google Bekerja

Pada bulan-bulan awal kepresidenan Trump, Vorhies menemukan dokumen tentang sistem yang sedang dirancang oleh Google. Mereka menyebutnya “Machine Learning Fairness”. Tidak ada masalah dalam nama itu. Bahkan, terdengar keren.

Kita tahu, “machine learning” adalah algoritma yang membuat mesin mengolah data dan belajar mengambil keputusan sendiri, dengan meniru pola-pola yang dilakukan manusia.

Sedangkan “fairness” maksudnya meski sistem Google belajar meniru keputusan-keputusan manusia, tetapi ia tidak menggunakan prasangka atau bias yang sering melekat pada manusia.

Sistem Machine Learning yang Adil ini digadang-gadang mampu mengoreksi ketidakadilan algoritmik.

Apa itu ketidakadilan algoritmik?

Berdasarkan salah satu dokumen yang dibaca Vorhies, contoh sederhananya begini. Jika pencarian kata kunci “CEO” menghasilkan lebih banyak foto pria daripada wanita di halaman hasil penelusuran, maka itulah ketidakadilan algoritmik. Sebab, hasil semacam ini cenderung merugikan perempuan dan tidak bagus untuk wacana kesetaraan gender.

Dari sini, Vorhies kembali mengerutkan dahi. Yang benar saja! Bagaimana kalau faktanya memang ada lebih banyak CEO laki-laki ketimbang perempuan?

Namun, mau bagaimana lagi? Itulah yang direncanakan Google. Mereka ingin menampilkan apa yang seharusnya, bukan apa yang sebenarnya. Jika kenyataan di lapangan tidak sesuai dengan idealisme versi Google, hasil pencarian itu akan dianggap sebagai ketidakadilan algoritmik yang perlu dikoreksi.

Lantas, bagaimana dengan situs-situs web yang tidak sejalan dengan idealisme ini? Bisa jadi, peringkat mereka di halaman hasil pencarian Google akan diturunkan.

Menurut temuan Vorhies yang lain, Google bahkan berencana membentuk tim evaluator yang bekerja bersama AI, dengan tugas menilai kredibilitas berbagai situs web.

Sebagai orang teknis, Vorhies berpendapat bahwa hal-hal semacam ini sebaiknya diserahkan kepada mesin saja. Ia benar-benar tidak yakin tim manusia dapat netral dan berimbang dalam memutuskan.

Geger Cuitan “Covfefe” dari Trump

Geger Cuitan “Covfefe” dari Trump

Suatu malam, 31 Mei 2017, Donald Trump mencuit di akun Twitternya, “Despite the constant negative press covfefe.” Atau terjemahannya, “Terlepas dari pers yang terus-menerus negatif, covfefe.”

Apa artinya “covfefe”? Tak seorang pun tahu.

Namun berkat Google Translate, jawaban itu mudah ditemukan. Menurut aplikasi itu, ternyata “covfefe” adalah kosakata Arab yang berarti “kami akan berdiri.” Jadi terjemahan dari cuitan Trump tadi, “Terlepas dari pers yang terus-menerus negatif, kami akan berdiri.” Oh, ternyata begitu maksudnya.

Sayangnya, masalah tidak berhenti di sana. Liam Slack, seorang wartawan New York Times, tidak percaya Trump sengaja menggunakan istilah Arab. Alih-alih, ia pernah berjanji untuk melarang muslim di Amerika Serikat. Presiden sendiri tidak pernah mengaku mengucapkan istilah Arab. Lagi pula, seorang profesor bahasa Arab mengklaim bahwa kata “covfefe” sebenarnya tidak punya arti apa-apa.

Google memanfaatkan situasi ini. Dari dokumen internal perusahaan, Vorhies tahu ada karyawan yang memutuskan untuk mengubah terjemahan asli sistem, sambil mengerjai Trump.

Yang terjadi berikutnya, istilah “covfefe” tidak lagi diterjemahkan sebagai “kami akan berdiri”. Saat kata itu dimasukkan, Google Translate malah menunjukkan emotikon seorang pria yang mengangkat bahu seperti kebingungan.

Kata “covfefe” tidak lagi dideteksi sebagai bahasa Arab, cuitan Trump pun menjadi tidak bermakna di mata publik.

Google Leaks: Buku yang Berani

Google Leaks: Buku yang Berani


Kasus “covfefe” ini hanya salah satu dari sekian banyak permainan Google yang diangkat ke permukaan oleh Vorhies dalam buku Google Leaks.

Bacalah buku ini, untuk memberi sudut pandang lain mengenai perusahaan Google. Di sini, banyak dipaparkan kekecewaan Zach Vorhies terhadap pergeseran Google, dari perusahaan teknologi yang netral menjadi berpihak secara politik. Terutama setelah terpilihnya Donald Trump.

Dari sini, Anda akan tahu bahwa Google tidak akan ragu memasukkan situs web yang tidak sesuai dengan nilai-nilainya ke dalam daftar hitam dan mengategorikan pendapat-pendapat yang berbeda sebagai hoaks.

Vorhies juga melengkapi buku ini dengan dokumen-dokumen sebagai bukti tudingan-tudingannya, sehingga Anda dapat mengambil kesimpulan sendiri.

Oh ya, satu lagi. Urusan ini sebenarnya berbuntut panjang, sampai-sampai kediaman Vorhies digerebek polisi. Sungguh, suatu hal yang bisa diprediksi mengingat Google adalah perusahaan teknologi raksasa. Tentu Google mudah saja menemukan siapa yang dengan pola tertentu mengakses dokumen-dokumen internalnya.

Namun menariknya, buku ini tetap terbit. Dan dijual pula di Google Play Book.



- Tulisan: Win Andriyani, penikmat film dan novel

 

Post a Comment for "Sisi Kelam Google Menurut Buku Google Leaks"