Empati: Titik Awal Pembangunan Karakter Anak
Semua tahu, peranan keluarga dalam tumbuh kembang anak besar sekali. Keluarga adalah pendidik yang utama dan pertama bagi anak. Bila keluarganya harmonis, komunikatif dan kompak, jiwa seorang anak akan stabil dan positif. Kita tidak perlu lagi khawatir dia tumbuh menjadi pelaku kekerasan, tukang buli, begal, terlibat pornografi, obat-obatan terlarang, atau lainnya.
Pertanyaannya, bagaimana cara menciptakan keluarga yang harmonis, komunikatif dan kompak itu? Apa dasar terpenting bagi pembangunan karakter dan pendidikan anak? Apakah kemampuan membaca dan menulisnya harus juara? Atau dia harus cerdas berhitung?
Bukan! Tentu saja, bukan. Pendidikan membaca, menulis dan berhitung (calistung) bisa saja dipelajari setelah anak berusia 7 tahun. Dalam kondisi normal, anak hanya akan butuh waktu enam bulan untuk menguasai ilmu calistung.
Yang kita bicarakan ini lebih sederhana dari itu. Namun, jauh lebih penting. Apa itu?
Ya, kemampuan berempati.
Ya, ketika seorang anak tumbuh tanpa rasa empati, maka yang terjadi adalah fenomena yang kita saksikan saat ini. Seorang pemuda dengan bangga menyakiti yang lebih lemah (baik fisiknya atau status sosialnya), memaksakan kehendaknya kepada orang lain, bahkan sampai tega memperkosa atau membunuh.
Tumbuh dewasa pun, individu yang tidak terbiasa berempati akan setali tiga uang. Mereka tak segan-segan menzalimi orang lain, main kuasa, atau melakukan korupsi.
Sudah banyak bukan, tokoh politik kita yang mendekam di penjara karena kasus korupsi? Apakah mereka orang yang bodoh? Bukan! Mereka justru pintar-pintar. Sekolahnya dulu selalu ranking, kuliahnya pun jadi aktivis yang disegani, bahkan ironisnya, aktif di Sie Kerohanian juga.
Mengapa mereka masih melakukan tindakan yang bodoh itu? Tidak lain, sekali lagi, karena kurangnya kemampuan berempati dalam dirinya. Merasakan apa yang dirasakan orang lain, itulah empati. Bukan sekadar bersimpati. Empati inilah pondasi dari setiap perbuatan baik manusia terhadap manusia atau makhluk lainnya.
Jika orang sudah mempunyai rasa empati, tidak akan ada berita pejabat korupsi. Karena nuraninya akan mencegah perbuatan tersebut, “Jangan! Tindakan ini menyengsarakan orang lain!” Jika seseorang memiliki rasa empati, tidak akan ada cerita orang menjual narkoba, sekalipun pendidikannya (maaf) hanya lulusan SD dan dia sedang terhimpit keuangan.
Dunia pun akan menjadi lebih indah ketika semakin banyak orang yang memiliki rasa empati yang besar.
Jadi, sebelum mengajarkan anak Anda membaca, menulis, atau berhitung, ajarkanlah ketrampilan dasar ini: berempati. Para pendidik selalu percaya, empati ditambah keimanan (keyakinan bahwa Tuhan ada dan memperhatikan segala gerak-gerik kita) akan mencegah orang berbuat jahat. Lalu, yang tidak kalah penting, pilihlah sekolah yang tepat bagi buah hati Anda.
Dengan demikian, mari jadikan Indonesia lebih baik dengan empati.
- Tulisan Arta Nusakristupa