Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pemilu Elektronik di Indonesia, Kapan Terealisasi?

Pemilu Elektronik di Indonesia, Kapan Terealisasi?

Katanya, kita memasuki era Industri 4.0, menyambut era Internet of Things (internetisasi segala bidang), telah memanfaatkan mahadata (big data), sudah 73 tahun merdeka dan berdemokrasi. Namun, mengapa untuk pemilihan umum (pemilu) saja kita masih berkutat dengan pilihan antara coblos dan contreng? Mengapa tidak berani hijrah ke pemilu elektronik atau e-voting?

Problemnya barangkali ada di dana. Biaya investasi untuk melakukan pemilu secara elektronik jelas bukan main-main. Membangun peranti lunaknya, peranti kerasnya, infrastruktur internetnya, pelatihan bagi staf Komisi Pemilihan Umum (KPU), petugas honorer di setiap Tempat Pemungutan Suara (TPS), sampai sosialisasi cara memilih kandidat bagi para warga yang memenuhi syarat. Memang mahal.

Namun, penghematan untuk tahun-tahun ke depan sangatlah signifikan. Dengan sistem canggih ini, hasil pemenang resmi jauh lebih cepat diumumkan. Sumber daya KPU pun tidak akan terkuras habis-habisan.

E-Pemilu: Menghemat Triliunan Rupiah

Pemilu dengan sistem elektronik akan lebih murah bukan saja untuk KPU, melainkan juga bagi semua partai politik (parpol) dan calon anggota badan legislatif (caleg) mereka.

Anda tahu, honor ratusan ribu saksi partai saja bisa ratusan miliar dalam sekali pemilihan. Biasanya, para caleg tiap parpol diminta iuran menutup pengeluaran tersebut. Bahkan, kadang-kadang caleg berinisiatif mengerahkan saksi sendiri untuk mengamankan perolehan suara, yang artinya akan ada biaya ekstra. Belum lagi biaya untuk kampenyenya, baik di darat maupun udara.

Caleg-caleg seperti ini, dengan modal segila ini, kalau terpilih, apa tidak berpikir balik modal? Ya, kita tidak bisa memukul rata motivasi mereka. Cuma, pengeluaran yang seperti ini seharusnya tidak perlu.

Kenapa hanya urusan saksi saja bisa semahal itu? Pertama, tentu karena saksinya banyak, mereka akan ditaruh di setiap TPS. Kedua, ini yang muncul akibat sistem pemilu analog: rekapitulasi surat suara yang membutuhkan waktu sekitar sebulan! Mulai dari penghitungan di TPS, lalu diangkut ke kecamatan, kabupaten atau kotamadya, provinsi, sampai KPU pusat.

Kalau saksi yang memelototi proses ini hanya beberapa gelintir, atau hanya bekerja 2-3 hari, tentu tidak maksimal mencegah kemungkinan terjadinya rekayasa surat suara di lapangan. Makanya, ini kerja kolosal.

Dan kita tahu, setiap hal yang berbau kolosal selalu melibatkan dana yang megah. Baik untuk penyediaan logistiknya, penyimpanan logistiknya (sewa gedung), sampai penanganan sampahnya.

Selamanya, kita terus berkutat dengan membengkaknya biaya pesta demokrasi kalau metode pemilunya kuno seperti sekarang.

E-pemilu diyakini mampu memutus lingkaran pemborosan ini. Proses pemilihan warga dan rekapitulasi dapat dilakukan dengan cepat, murah, dan akurat. Sebab, yang mengerjakan adalah komputer. Dan ini bisa dibuat terbuka, sehingga publik turut menyaksikannya, misalnya, melalui situs web atau aplikasi ponsel pintar KPU.

Siapkah Indonesia dengan E-Pemilu?

Kenapa tidak! Sebenarnya, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) telah lama mengembangkan teknologi e-voting ini. Uji coba pertamanya pada 2008, dalam pemilihan kepala desa (pilkades) di Kabupaten Jembrana, Bali. Terakhir, teknologi e-pemilu digunakan dalam pilkades serentak di 172 desa di Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah, pada September 2018.

Sejauh ini, hasilnya memuaskan. Akurasi sistem mencapai 100%, artinya tingkat kesalahannya 0%. Soal keabsahan pemilih pun dapat dengan cepat dideteksi oleh mesin. Jadi, jangan harap ada kecurangan atau pemilih ganda seperti yang terjadi selama ini. Kecuali, tentu saja, kalau masalahnya terletak di pembuatan e-KTP.

Jadi, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mestinya harus menuntaskan dulu karut-marut mengenai e-KTP. Karena, itulah prasyarat penyelenggaraan pemilu elektronik yang jurdil.

Selain soal pendataan pemilih atau e-KTP, rasanya relatif tidak ada persoalan yang berarti. Internet? Seharusnya, itu bukan lagi masalah. Baru-baru ini, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara menegaskan bahwa pada 2022, tidak akan ada lagi blank spot (titik tanpa sinyal internet) di seluruh pelosok Indonesia.

Pertanyaannya bukan siap atau tidak siap, tetapi mau atau tidak mau. Karena pemilu elektronik jelas memangkas biaya-biaya kertas suara, percetakan, kotak suara, paku, saksi, dan sebagainya. Tentu ini akan menghilangkan sandang-pangan banyak orang.

Tetapi mau bagaimana lagi. Kita harus efisien, seperti negara-negara maju. Efisien biaya penyelenggaraannya, juga efisien sampahnya. Jadi, pemilu elektronik yang paperless adalah keniscayaan.

Jika tidak bisa beres di pileg dan pilpres tahun ini, kita doakan pemerintah dan KPU harus bisa menyelenggarakan e-voting paling lambat pada Pemilu 2024. Sebab jika tidak, terlalu besar biaya yang kita hambur-hamburkan untuk pesta demokrasi ini.

Selain itu, kita akan terus direcoki oleh isu-isu remeh yang tak keren seperti opsi coblos atau contreng, kotak suara dari kardus, dan semacamnya. Sungguh tidak elok. Level Indonesia yang sudah puluhan tahun menjalankan sistem demokrasi bukan di situ, seharusnya.

- Tulisan: Alva Altera
- Gambar: csmonitor.com