Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kethek Ogleng, Kera Sakti versi Indonesia

Kethek Ogleng, Kera Sakti versi Indonesia

Entah mengapa, banyak budaya di dunia yang memiliki tokoh berupa monyet sakti. Sebut saja Anoman di India, Sun Wukong (Kera Sakti) di Cina, Son Goku (Dragon Ball) di Jepang. Bahkan, Indonesia juga punya beberapa tokoh seperti itu. Di Jawa Barat ada Lutung Kasarung dan di Jawa Tengah atau Jawa Timur ada Kethek Ogleng.

Tokoh yang terakhir disebut ini populer sebagai karakter utama dalam pertunjukan tari. Dalam seni Kethek Ogleng, para pemainnya meniru gerakan-gerakan monyet (atau dalam bahasa Jawa disebut kethek). Tarian tersebut diiringi dengan gamelan atau gending gancaran pancer yang bunyinya kurang-lebih, "Ogleng, ogleng, ogleng." Makanya, seni ini kemudian disebut "kethek ogleng".

Berbeda dengan pertunjukan tarian tradisional umumnya, pementasan Kethek Ogleng menggunakan beragam properti, seperti tali dan kursi. Karena itulah, Kethek Ogleng terlihat atraktif dan akrobatik. Tidak ada yang baku dalam gerakan-gerakan tarian Kethek Ogleng. Penari pun bebas melakukan improvisasi, misalnya, dengan mengajak penonton ikut menari dan bercanda bersamanya.

Biasanya, drama Kethek Ogleng melibatkan enam tokoh, yaitu Panji Asmorobangun, Dewi Sekartaji, Endang Rara Tompe, Punakawan, Batara Narada, dan Wanaraseta.

Dikisahkan, Raja Jenggala (sekarang di Jawa Timur) memiliki seorang putri, Dewi Sekartaji alias Candra Kirana. Sementara itu, Kerajaan Kediri (juga di Jawa Timur) memiliki seorang putra, Raden Panji Asmorobangun. Singkat cerita, keduanya menjalin hubungan asmara dan serius ingin membangun keluarga.

Sayangnya, Raja Jenggala sudah menjodohkan Sekar dengan pangeran dari kerajaan lain. Karena tidak menerima perjodohan itu, sang gadis minggat dari istana Jenggala. Malam hari, dia diam-diam berangkat bersama beberapa dayang-dayang menuju barat.

Di Kerajaan Kediri, Panji akhirnya mendengar berita menghilangnya pujaan hatinya itu. Tanpa pikir panjang, dia memutuskan untuk mencari Sekar. Dalam perjalanan, Panji singgah di rumah seorang pendeta sakti yang menyarankannya pergi ke arah barat (mirip cerita Kera Sakti). Namun, untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, Panji harus menyamar sebagai monyet. Pemuda itu menurutinya.

Sementara itu, di barat, lantaran tidak mau identitasnya tercium oleh intel kerajaan, Sekar juga menyamar menjadi Endang Rara Tompe. Dia menetap di sebuah daerah.

Kebetulan, sang monyet (Panji Asmorobangun) tinggal tidak jauh dari situ. Bertemulah mereka. Mereka mengobrol, berteman, dan akhirnya semakin akrab. Namun masing-masing pihak belum mengetahui identitas sahabat barunya.

Setelah persahabatan antara monyet putih dan Endang Rara Tompe semakin intim, keduanya membuka identitas masing-masing. Endang Rara Tompe mengubah bentuknya menjadi Dewi Sekartaji, begitu juga dengan sang kethek.

Keduanya sama-sama terkejut. Sama-sama larut dalam keharuan dan kebahagiaan. Panji dan Sekar akhirnya sepakat untuk kembali ke Kerajaan Jenggala dan menggelar pernikahan.

Begitulah inti cerita dari pertunjukan Kethek Ogleng. Namun, jangan tanya seni ini dari mana. Masing-masing daerah rupanya memiliki versi dan pengembangannya sendiri.

Kethek Ogleng Pacitan, Jawa Timur

Di Desa Tokawi, Kecamatan Nawangan, Kabupaten Pacitan, pertunjukan Kethek Ogleng pertama ditampilkan oleh Sutiman pada akhir 1963. Saat itu, dia menari di hajatan pernikahan, atas permintaan Kepala Desa Tokawi, Haryo Prawiro.

Lalu, atas persetujuan dari Bupati RS Tedjo Sumarto pada 1964, Dinas Pendidikan meminta petani 18 tahun itu agar tari pertunjukan Kethek Oglengnya dibuat berlatarkan cerita rakyat Panji Asmorobangun.

Kethek Ogleng Wonogiri, Jawa Tengah

Di Kabupaten Wonogiri, Kethek Ogleng pertama ditampilkan oleh almarhum Samijo dari Desa Tempursari, Kecamatan Sidoharjo. Di masa emasnya, Mbah Samijo adalah seorang penari sekaligus pengajar tari.

Tongkat estafet Kethek Ogleng kemudian diturunkan dari generasi ke generasi. Hingga, sekarang, yang menonjol sebagai maestronya adalah Maryono dari Ngadirojo Lor.

Kethek Ogleng Gunung Kidul, Yogyakarta

Pada era 1970-an, di Gunung Kidul, tari Kethek Ogleng sudah marak di setiap kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta. Mudah kita jumpai sanggar-sanggar kesenian Kethek Ogleng. Bahkan, ada yang mengatakan, pertunjukkan Kethek Ogleng sudah berkembang di daerah Semanu sejak 1935.

Dari Semanu, seni Kethek Ogleng berkembang ke Tepus, Semin, Wiladeg, dan beberapa wilayah lainnya di Kabupaten Gunung Kidul. Pertunjukan unik ini baru mengalami masa surut pada masa Orde Baru, tepatnya ketika berbagai alternatif pertunjukan modern mulai bermunculan.

Sebenarnya, masih ada beberapa daerah yang berkontribusi menghidupkan seni pertunjukan terbuka Kethek Ogleng. Ini semua membuat kita sulit merunut secara pasti dari daerah mana pertunjukan Kethek Ogleng, diciptakan tahun berapa, dan siapa kreatornya.

Yang pasti, pada 2018, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah menetapkan Kethek Ogleng Wonogiri dan Kethek Ogleng Gunung Kidul sebagai dua di antara puluhan Warisan Budaya Takbenda di Indonesia tahun itu.

- Tulisan: Brahmanto Anindito

Post a Comment for "Kethek Ogleng, Kera Sakti versi Indonesia"