Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Janc*k

- Oleh Ihsan Maulana

Seorang siswa pernah bertanya kepada saya, “Ustadz, bagaimana hukumnya bilang ‘janc*k’?” Setengah terkejut dengan pertanyaan yang berani itu, saya kemudian menjawabnya, “Berkata kotor dan bersumpah serapah diharamkan dalam Islam. Dan janc*k adalah salah satu di antaranya.”

Siswa yang lain lalu menimpali, “Kata kakak saya, kita kan ngomong gitu tujuannya cuma buat mengekspresikan perasaan saja. Dan tidak ada yang tersinggung. Masa nggak boleh, Ustadz?”

“Mengekspresikan perasaan dengan kata-kata kasar?” saya tertawa pendek. “Alangkah indahnya jika kita mengekspresikan perasaan-perasaan kita dengan ucapan subhanallah ketika takjub, astaghfirullah ketika merasa telah melakukan kesalahan, alhamdulillah ketika mendapatkan nikmat atau terbebas dari bahaya, dan innalillahi wa inna ilaihir rajiun ketika memperoleh bencana atau balak. Itu yang sangat disarankan Rasulullah. Sekarang, mau ikut Rasulullah atau ikut kakakmu?”

Mereka tertawa dan mengatakan secara kompak, “Rasulullah!” Tak seorang murid pun yang membantah atau memperpanjang tema misuh atau makian ini.

Beberapa minggu kemudian, saya bertemu dengan seorang teman penganut Islam kejawen (atau mungkin dalam kategori Cliffort termasuk Islam abangan) di daerah Kenjeran, Surabaya. Saat kami bercanda, secara spontan dia pun mengucap kata “janc*k”.

Saya menegurnya, “Apa nggak ada kata yang lebih baik?”

Teman saya itu balik bertanya, “Kata apa yang lebih baik?”

Saya pun kemudian menjawab seperti yang saya jelaskan kepada murid-murid saya tempo hari. Tapi, tentu saja tanggapannya lain dengan tanggapan murid-murid saya.

“Kamu ahistoris, San.”

“Lah! Kok bisa begitu?” saya terkejut.

“Janc*k itu kan identitas orang Surabaya dari generasi ke generasi. Itu ungkapan dari rasa marah, sedih dan sekaligus bahagia.”

Menurutnya, pekikan “janc*k” tidak bisa langsung diartikan sebagai umpatan. Alih-alih dosa, jika niatnya bersyukur, sebenarnya si pengucap janc*k bisa mendapat pahala. Wah, hebat sekali pemikirannya! Dia juga melengkapinya dengan contoh kalimat, “Janc*k, belum pernah daganganku laris sebanyak ini!”

Bukan main, indah sekali kalimatnya. Saya pun terdiam. Mencoba memahami logika teman saya yang protolan SMK itu. Menghadapi teman yang tak sealiran seperti ini, saya ragu kalau menggunakan dalil-dalil. Percuma, takkan digubrisnya.

Jadi, saya menggunakan logika saja. Kalau kata “janc*k” memang tergolong ekspresi syukur (yang bersejarah), saya sarankan dia mengucapkan “janc*k” sering-sering di depan bosnya, di dalam masjid, ketika bersama pembelinya, sewaktu mengobrol dengan ibunya, bahkan ketika curhat dengan Tuhan. Mereka pasti tersenyum dan semakin akrab dengannya, karena berhadapan dengan orang yang setiap jamnya penuh dengan rasa syukur.

“Coba saja,” tantang saya.

Dia diam.

Post a Comment for "Janc*k"