Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Di Balik Plasa Tunjungan Surabaya

Di Balik Plasa Tunjungan Surabaya

Namanya Omar Ishananto, SH. Sebagian orang mengenalnya sebagai Direktur PT Pakuwon Jati. Lelaki yang pertama kali menginjakkan kaki di Surabaya pada 1947 ini adalah salah satu tokoh penting di balik Plasa Tunjungan, pusat perbelanjaan terbesar dan tertua di Surabaya.

Mal yang terletak di pusat kota pahlawan ini telah berdiri sejak 1986 lewat kerja keras Omar. Plasa Tunjungan waktu itu penuh kontroversi. Bukan saja tahap pembangunannya, ketika beroperasi pun mal yang dulunya bernama Tunjungan Plaza (disingkat TP) ini dihujani kritik dan protes dari masyarakat sekitar.

Yang begitu terasa, Plasa Tunjungan pernah dikomplain karena menerapkan beberapa aturan yang tidak populis. Salah satunya larangan bagai pemakai klompen atau terompah. Padahal di era ‘80-an, masih banyak masyarakat Surabaya yang mengenakan alas kaki tradisional itu. Lantas, ada juga aturan berpakaian sopan dan tak boleh merokok.

Protes dari masyarakat sempat membuat Omar geleng-geleng kepala. “Padahal saya, kan, cuma ingin memberi edukasi kepada masyarakat. Berpakaianlah yang sopan, rapi, tidak mengenakan klompen, tidak merokok, dan menjaga kebersihan,” terang lelaki asal Nganjuk ini.

Untuk tujuan itu, pria yang akbrab dipanggil Pak Oi ini tak merasa rugi menolak bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan rokok yang ingin mengadakan acara di plasanya. “Ya, kami harus konsekuen. Ketika di sini pengunjung dilarang merokok, masa kita malah menyediakan spot iklan untuk promosi produk rokok?”

Beruntung, masyarakat Surabaya yang berwatak keras mau menerima kultur baru dalam berjalan-jalan dan berbelanja. Pelan-pelan, mereka mulai bersedia meninggalkan terompahnya dan mampu berpuasa rokok selama di dalam mal. Meskipun sambil mendumal juga.

“Iya, Mas. Tahun '80-an dulu itu sebenarnya saya jengkel banget disuruh mematikan rokok pas mau masuk TP. Wong enak-enak ngerokok, kok,” kisah Hadi, salah satu pengunjung angkatan pertama Plasa Tunjungan, kepada penulis. “Tapi lama-lama, ya udahlah, saya mengalah. Justru sekarang kalau melihat ada orang yang merokok di ruangan ber-AC, saya malah jengkel. Hahaha....”

Hadi adalah salah satu bukti sukses kecil Omar Ishananto dalam mengedukasi masyarakat yang belum terbiasa dengan “kemewahan” mal.

Bukti sukses lainnya tentu saja di bidang pencitraan Plasa Tunjungan itu sendiri. Tengoklah, sampai sekarang pun mal legendaris ini jadi tempat rujukan yang nyaman dan strategis bagi berbagai kalangan usia. Baik untuk berbelanja maupun sekadar berkongkow-kongkow.

Kegigihan Omar pun terbukti berhasil menciptakan ikon yang menjadi kebanggaan masyarakat Surabaya. Sehingga saat ini, lagu Rek, Ayo Rek... mlaku-mlaku nang Tunjungan masih dengan bangganya dinyanyikan generasi muda Surabaya. Bahkan, Jawa Timur.


Tulisan: Ihsan Maulana, peneliti masalah sosial kemasyarakatan

Post a Comment for "Di Balik Plasa Tunjungan Surabaya"