Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Utang Saya, Utang Anda, Utang Indonesia

Utang kok tidak habis-habis ya...
Utang kok tidak habis-habis ya...
- Oleh Arta Nusakristupa

Salah satu hal yang membuat hidup saya tidak nyaman adalah utang. Ya, saya masih menganggap berutang itu hina dan memalukan. Jadi, saya tak habis pikir dengan orang-orang yang mengatakan hidup ini kurang bersemangat tanpa utang. Atau orang yang merasa rugi kalau melihat temannya bisa utang di warteg untuk makan siang, sementara dia harus membayar tunai setiap kali makan. Atau orang yang menganggap bisnisnya sulit maju kalau tidak ngutang bank.

Dasar orang-orang aneh!

Kok bisa-bisanya tiap bulan antre membayar utang di bank dibilang hidup yang penuh semangat. Semangat dari mananya? Saya saja melihat gedung bank yang tinggi megah rasanya seperti melihat dinosaurus yang siap melahap saya bulat-bulat!

Bagi umat Islam, tolong ditelaah kembali, bukankah Rasulullah mengajarkan kita untuk tidak berutang? Kalaupun berutang, lekas-lekaslah membayar! Pertama, supaya terhindar dari riba. Kedua, kita kan tidak tahu kapan mati. Celakalah kita kalau mati dalam keadaan berutang, apalagi dalam keadaan perut kenyang oleh riba. Selain itu, tidak bisa tidak, utang kita itu juga akan merepotkan ahli waris kita. Mau?

Cobalah berpikir melalui sudut pandang ahli waris kita. Dongkol sekali kan kalau tidak ikut utang tapi harus ikut iuran membayarnya? Utang turunan dimana-mana memang menjengkelkan. Termasuk utang republik ini.

Sungguh aneh, di negeri yang subur makmur gemah ripah loh jinawi ini, ternyata rakyat, pemerintah, dan perusahaan-perusahaan swastanya hobi berutang. Tahukah Anda, Indonesia punya utang luar negeri yang tak bisa lunas oleh satu atau dua generasi.

Menurut Bank Indonesia, pada awal 2014, jumlah utang itu tidak kurang dari 276,49 milyar dolar. Kalau dirupiahkan hari ini, berarti utang luar negeri Indonesia adalah 3.296 trilyun. Ya, tiga ribu trilyun rupiah!

Entah segede apa tumpukan utang itu jika dirupakan dalam bentuk pecahan 100 ribuan. Padahal, untuk membuat jembatan megah antarpulau di Indonesia saja kita hanya perlu dana Rp 4 trilyun.

Siapa yang bakal membayar utang 3.296 trilyun itu? Tentu kita! Jika diasumsikan penduduk Indonesia adalah 240 juta jiwa, maka tiap warga harus menanggung beban pelunasan sekitar 1,4 juta. Itu belum bunga dan kalau nanti ada (dan pasti ada) penambahan utang. Bisa-bisa, begitu ada bayi lahir di Indonesia, dia langsung tercatat sebagai debitur. Mantap!

Di lain sisi, sebagaimana yang saya katakan di awal tulisan, beberapa dari kita adalah penggemar utang (buktinya produk kartu kredit begitu populer di masyarakat kita). Dan sebagian besar dari kita adalah pecandu subsidi pemerintah. Dari Debat Capres-Cawapres semalam, saya jadi tahu, subsidi BBM kita bukannya mengecil, angkanya malah bertambah bengkak saja. Ini membuat pemerintah semakin kepayahan.

Sementara setiap kali ada isu kenaikan harga BBM (karena subsidinya hendak dicabut), selalu saja ada yang memprotes keras. Demo habis-habisan! "Kalau BBM dinaikkan, presidennya harus diturunkan!" selalu begitu ancaman rakyat.

Demikian parahnya kecanduan kita terhadap subsidi BBM ini. Kita tak pernah mau tahu bahwa harga BBM di Indonesia murah karena ditambal dengan duit yang didapat dari utang ke negara lain.

Kita, sebagai rakyat, ternyata lebih memilih hidup dengan terus dicekoki subsidi ketimbang berusaha berdiri di atas kaki sendiri. Mobil ada, tapi bensinnya minta disubsidi. Sepeda motor Mio, Tiger, V-ixion, Ninja, tapi beli bensin maunya Premium saja. Hampir setiap minggu bisa makan steak, tapi kalau naik kereta memilih kelas Ekonomi AC. Aduh.

Kita ini seperti kehilangan konsep puasa. Yaitu kesanggupan untuk hidup menderita sementara waktu demi kenikmatan berikutnya. Sebagai rakyat, kita telah mengaburkan makna "menahan lapar" dalam ibadah puasa. Hingga, anak cucu kita nanti terancam lapar dalam puasa yang berkepanjangan karena lilitan utang ribuan trilyun rupiah. Dan tak pernah tahu kapan tiba saat berbuka.

Post a Comment for "Utang Saya, Utang Anda, Utang Indonesia"