Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

7 Jenis Kenikmatan dan Mekanismenya dalam Tubuh Manusia

7 Jenis Kenikmatan dan Mekanismenya dalam Tubuh Manusia

Sering kita merasakan kenikmatan, tetapi tidak tahu mengapa bisa terjadi. Kita hanya menerimanya begitu saja, “Kalau saya melakukan ini, maka saya akan mendapat kenikmatan itu. Sedangkan kalau saya begini, kenikmatan begitu yang saya rasakan.” Tanpa tahu bedanya, tanpa bisa menjelaskan.

Tentu saja. Sebab, kenikmatan merupakan respons neurobiologis yang kompleks, dimediasi oleh sistem saraf dan pelepasan neurotransmiter tertentu. Mari kita mempelajari bagaimana otak mengodekan "kesenangan-kesenangan" itu.



1. Kenikmatan Makanan

Makanan enak merangsang sistem reward otak melalui kombinasi rasa, aroma, dan tekstur. Reseptor lidah (papila) mengirim sinyal ke nucleus accumbens dan orbitofrontal cortex (OFC), area otak yang terkait dengan penghargaan dan pengambilan keputusan.

Dopamin, neurotransmiter utama dalam sistem reward, dilepaskan ketika kita mengonsumsi makanan tinggi gula, lemak, atau garam.

Studi oleh Berridge et al. (2010) menunjukkan bahwa makanan lezat meningkatkan aktivitas di OFC, sementara leptin dan ghrelin (hormon pengatur lapar) memodulasi intensitas keinginan makan.

2. Kenikmatan Seksual

Aktivitas seksual mengaktifkan jalur dopaminergik di ventral tegmental area (VTA) dan nucleus accumbens. Dopamin meningkatkan motivasi untuk mencari kepuasan, sementara oksitosin dan vasopresin (dilepaskan saat orgasme) memperkuat ikatan sosial dan mengurangi stres.

Penelitian Pfaus et al. (2012) menjelaskan bahwa stimulasi genital mengaktifkan sistem opioid endogen, yang menciptakan sensasi euforia.

3. Kenikmatan Menggaruk atau Menjepit Kulit yang Gatal

Gatal (pruritus) diproses oleh serabut saraf C di kulit, yang mengirim sinyal ke anterior cingulate cortex (ACC). Menggaruk area gatal menghambat aktivitas di ACC melalui aktivasi neuron di periaqueductal gray (PAG) yang melepaskan opioid endogen.

Menurut Yosipovitch et al. (2007), garukan menyebabkan pelepasan serotonin, menciptakan rasa lega sementara, meski berisiko merusak kulit jika berlebihan.

4. Kenikmatan Narkoba

Narkoba seperti kokain, heroin, dan nikotin meniru atau meningkatkan neurotransmiter alami. Kokain menghambat reuptake dopamin, meningkatkan konsentrasinya di sinapsis. Heroin mengaktifkan reseptor opioid μ, meniru efek endorfin.

Studi Volkow et al. (2019) menunjukkan bahwa paparan kronis dari zat-zat narkoba mengganggu keseimbangan sistem reward, menyebabkan adiksi alias ketagihan.

5. Kenikmatan Berolahraga

Aktivitas fisik memicu pelepasan neurotransmiter dan hormon yang terkait dengan perasaan senang dan euforia, seperti endorfin dan anandamide (sejenis endokannabinoid).

Endorfin, yang diproduksi oleh kelenjar pituitari dan hipotalamus, berikatan dengan reseptor opioid di otak, mengurangi persepsi nyeri dan menciptakan rasa lega mirip efek morfin. Sementara itu, anandamide—senyawa mirip kanabis alami—meningkatkan perasaan relaksasi melalui aktivasi reseptor CB1 di sistem limbik.

Studi pencitraan otak oleh Boecker et al. (2008) menunjukkan bahwa olahraga intensitas sedang hingga tinggi meningkatkan aktivitas di prefrontal cortex (PFC) dan insula, area yang terlibat dalam regulasi emosi dan kesadaran tubuh.

Fenomena "runner's high" (euforia pelari) juga dikaitkan dengan peningkatan kadar β-endorfin dalam darah setelah latihan aerobik berkepanjangan. Selain itu, olahraga kronis meningkatkan neuroplastisitas melalui protein Brain-Derived Neurotrophic Factor (BDNF), yang memperbaiki mood dalam jangka panjang.

Ini menjelaskan mengapa olahraga diresepkan sebagai terapi adjuvant untuk depresi dan kecemasan.

6. Kenikmatan Interaksi Sosial

Interaksi sosial positif, seperti berbincang, tertawa bersama, atau kontak fisik (misalnya pelukan), mengaktifkan sistem reward otak melalui pelepasan oksitosin dan dopamin.

Oksitosin, yang disintesis di hipotalamus dan dilepaskan oleh kelenjar pituitari, berperan dalam memperkuat ikatan emosional dan kepercayaan. Senyawa ini bekerja dengan menghambat aktivitas amigdala (pusat respons ketakutan) dan meningkatkan konektivitas antara nucleus accumbens dan korteks prefrontal, sehingga memfasilitasi perasaan aman dan nyaman.

Penelitian Heinrichs et al. (2003) menunjukkan bahwa pemberian oksitosin intranasal mengurangi kadar kortisol (hormon stres) dan meningkatkan empati. Sementara itu, dopamin dilepaskan saat individu menerima pengakuan sosial atau berada dalam situasi kerja sama, seperti saat bermain dalam tim atau berbagi cerita.

Aktivasi simultan jalur dopaminergik (VTA ke nucleus accumbens) dan sistem oksitosin ini menciptakan "kepenuhan sosial" yang serupa dengan kepuasan setelah makan atau aktivitas menyenangkan lainnya.

Defisit interaksi sosial (misalnya isolasi) dapat menurunkan kadar oksitosin dan meningkatkan risiko gangguan mental. Ini mempertegas pentingnya hubungan manusia dalam kesehatan psikologis.

7. Kenikmatan Dipijat

Terapi pijat digunakan secara klinis untuk mengatasi nyeri kronis, kecemasan, dan gangguan tidur, karena kemampuannya memodulasi sistem saraf otonom dan neurotransmiter.

Pijatan mengaktifkan sistem somatosensorik dan jalur neurokimia yang terkait dengan relaksasi serta penghilangan nyeri.

Stimulasi mekanis pada kulit dan otot melalui pijatan merangsang serabut saraf C-taktil (CT-afferents), yang khusus merespons sentuhan lembut dan tekanan ritmis. Serabut ini mengirim sinyal ke insula dan anterior cingulate cortex (ACC), area otak yang memproses sensasi tubuh dan emosi.

Aktivasi jalur ini memicu pelepasan oksitosin dan endorfin, yang mengurangi stres dan menciptakan perasaan nyaman.

Selain itu, pijatan tekanan sedang hingga dalam mengaktifkan sistem parasimpatis, menurunkan kadar kortisol dan meningkatkan aktivitas saraf vagus, yang berperan dalam respons "rest-and-digest".

Studi oleh Field et al. (2010) menunjukkan bahwa pijatan meningkatkan aliran darah lokal dan mengurangi peradangan melalui pelepasan serotonin dan dopamin, yang juga berkontribusi pada perbaikan mood.

Mekanisme ini menjelaskan mengapa pijatan sering dikaitkan dengan efek analgesik dan euforia ringan, mirip dengan efek olahraga atau interaksi sosial positif.

Referensi

  • Volkow, N. D., et al. (2019). Nature Reviews Neuroscience, 20(3), 145–159.
  • Pfaus, J. G., et al. (2012). Neuroscience & Biobehavioral Reviews, 36(1), 55–96.
  • Salimpoor, V. N., et al. (2011). Nature Neuroscience, 14(2), 257–262.
  • Berridge, K. C., Ho, C. Y., Richard, J. M., & DiFeliceantonio, A. G. (2010). Neuroscience & Biobehavioral Reviews, 34(2), 160–168.
  • Field, T. (2010). International Journal of Neuroscience, 120(4), 277–285.
  • Löken, L. S., et al. (2009). Nature Neuroscience, 12(5), 547–548. • Boecker, H., et al. (2008). Cerebral Cortex, 18(11), 2523–2531.
  • Yosipovitch, G., et al. (2007). Journal of Investigative Dermatology, 127(4), 906–911.
  • Tracy, L. M., et al. (2007). Journal of Bodywork and Movement Therapies, 11(2), 141–147.
  • Heinrichs, M., et al. (2003). Trends in Cognitive Sciences, 7(2), 54–61.

Post a Comment for "7 Jenis Kenikmatan dan Mekanismenya dalam Tubuh Manusia"