Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Tirakat Mengenang Zaman Penjajahan

Dirgahayu RI ke-69, merdeka!
Dirgahayu RI ke-69, merdeka!
- Oleh Arta Nusakristupa

Begitu lama kita dijajah, begitu sakit menjadi orang terjajah. Selama 349 tahun dipaksa bekerja tanpa upah oleh Belanda. Lalu masih ditambah bonus selama tiga tahun lima bulan dijajah Jepang. Hanya bangsa ahli tirakat serta kebal lapar-dahaga yang mampu melaluinya.

Meski kita tak langsung mengalaminya, membayangkan ditindas selama tiga setengah abad saja sudah merinding. Betapa melelahkan dan membosankannya! Jadi, kita mudah berempati terhadap para pahlawan pejuang kemerdekaan.

Ah, benarkah?

Pagi-pagi buta di suatu Minggu, saya mendengar sebuah tabrakan. Di pinggir jalan, seorang bapak yang sepuh mengerang kesakitan. Buru-buru, saya menghampiri. Beliau ternyata sampai tak bisa berdiri karena tulang kering kaki kirinya patah.

Rupanya, beliau ditabrak pengendara sepeda motor ketika sedang berolahraga pagi. Pengendara motor yang menabraknya saya lihat juga tersungkur. Tapi lukanya tak berarti. Buktinya, ketika si bapak saya papah untuk saya larikan ke rumah sakit, pemuda belasan tahun itu dengan sigap men-starter motornya dan tancap gas.

"Hei, kurang aaaajyarrrr! Tahu nggak, aku ini dulu pejuang! Dasar bocah bangsat... bekicot... kadal..." Bapak itu terus mengumpat-umpat. Tapi hanya saya yang mendengarnya karena si pemuda telah amblas entah ke mana.

Luar biasa…

Hidup di zaman kolonialisme sudah menderita. Bertempur melawan penjajah yang peradabannya jauh lebih canggih bisa dianggap misi bunuh diri. Sudah merdeka, eh, jalan-jalan pagi pun masih celaka. Ditabrak motor dari belakang.

Ini salah satu bukti bahwa masih banyak yang tidak bisa menghargai para pejuang. Dan tidak mau tahu, siapa pejuang dan siapa bukan.

Padahal, penjajah yang lama masih ada. Negara-negara maju itu terus melancarkan jurus menjajahnya yang baru. Bisa dalam bentuk ekonomi, seni, budaya, atau lainnya. Siapa yang dijajah? Jangan khawatir, masih kita.

Lucunya lagi, kita terus bernostalgia dengan masa-masa itu. Lihatlah budaya antre beras, minyak goreng, minyak tanah, bensin. Masih saja ada, bukan?

Lomba balap karung juga. Karung selalu mengingatkan saya pada Kakek yang sangat miskin pada masa pendudukan Jepang. Karena susah mendapatkan bahan sandang, karung pun dipakai. Bisa dibayangkan bagaimana tak nyamannya berpakaian karung. Selain teksturnya kasar dan bikin gatal, juga tempat bersarang kutu (tumo kadhut) yang setiap kali lapar akan rakus menggigit kulit makhluk yang terdekat dengannya. Kereeen….

Tengok pula mereka yang berkotor-kotor memanjat pohon pinang berlumurkan oli. Sebuah pertunjukan getir yang menunjukkan bahwa di negeri subur makmur ini, ibu-ibu pun bisa nekat memanjat pohon tinggi hanya demi mendapatkan magic jar yang digantung di pucuknya. Apakah ini cara mereka bertirakat?

Entahlah.

Pada zaman wireless seperti sekarang, betapa makin sulitnya mengidentifikasi musuh dan penjajah. Musuh-musuh itu tak hanya datang dari negeri agresor, tapi bisa dari sekitar kita: koruptor, teroris, pengedar narkoba, calo tanah, mafia peradilan, dll.

Sungguh semakin berat tantangan zaman. Tapi, siapa takut?

Dirgahayu Republik Indonesia ke-69! Merdeka!

Post a Comment for "Tirakat Mengenang Zaman Penjajahan"