Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Saya Cinta Damai, Karena Itu Saya Bukan Charlie

- Oleh Brahmanto Anindito

Setelah penembakan staf Charlie Hebdo di Paris, 7 Januari lalu, orang-orang mendadak bersimpati kepada tabloid itu. Muncul gerakan #JeSuisCharlie (Saya adalah Charlie) di seluruh dunia sebagai ekspresi dukungan terhadap kebebasan mengungkapkan pendapat (freedom of speech) dan anti terorisme.

Pengacara Charlie Hebdo, Richard Malka, mengatakan kepada radio France Info bahwa mereka takkan surut sedikit pun untuk meneruskan hujatan-hujatannya. “Kami tidak akan takluk. Semangat #JeSuisCharlie berarti hak untuk menghujat,” kata Malka sebagaimana dikutip BBC Indonesia.

Sekadar informasi, Charlie Hebdo adalah media satir di Prancis yang biasa menyindir pemerintah, imigran gelap, termasuk agama-agama (tidak hanya Islam). Ada beberapa karya mereka yang memang saya nilai masuk kategori keterlaluan.

Apa yang dilakukan para penembak itu memang mengerikan, barbar, dan merusak kedamaian. Jelas perilaku main hakim sendiri seperti itu tidak dibenarkan secara hukum. Namun menurut saya, mereka hanya membela martabat agamanya dari pelecehan-pelecehan kartunis Charlie Hebdo.

Sama seperti seseorang yang membunuh pemerkosa adiknya. Salah secara hukum, tapi sangat mudah dipahami. Sama juga dengan vigilante yang membantai bos mafia ketika Pemerintah dan aparatnya tidak pernah punya nyali untuk memenjarakannya. Sekali lagi, itu salah secara hukum, tapi mudah sekali untuk memahami, bahkan mendukungnya secara moral.

Di luar sana, ada banyak karakter orang. Respon mereka tentu berlainan, meski untuk situasi yang sama. Reaksi dari para muslim Prancis ketika Islam dan nabinya dihina juga berbeda-beda. Ada yang pasrah dan menganggap, “Tuhan tak perlu dibela, karena Dia sudah Mahakuat.” Ada yang reaktif nonfisik, seperti menulis di media, medsos, dan ceramah-ceramah. Ada pula yang reaktif fisik.

Kelompok terakhir inilah yang dilabeli teroris oleh dunia Barat. Padahal, tiap tahun ratusan hingga ribuan muslim di dunia dibantai, tidak seorang pun melabeli pelakunya teroris. Di Charlie Hebdo, “hanya” 10 orang yang ditembak, semua sepakat melabeli pelakunya teroris. Bahkan komunitas hacker Anonymous turut meradang.

Mereka lupa, tak ada asap bila tak ada api. Aneh. Yang saya tak habis pikir, mereka yang mengaku jawara demokrasi, kenapa malah terlihat sulit sekali menghargai nilai-nilai yang dianut orang lain di luar kotaknya?

Kalau tetangga Anda mengatakan, “Saya tidak suka durian,” apa Anda akan menawari, memberi, atau bahkan memaksanya makan durian? Kan tidak? Apakah Anda juga mengolok-oloknya tanpa henti? Konyol sekali!

Kalau Anda melakukan itu, berarti Anda adalah seorang pembully sejati, yang mungkin juga berbakat psikopat.

Dalam kasus yang sama, kalau umat Islam tidak mau Nabi Muhammad digambar, ya jangan digambar. Seharusnya sesederhana itu, bukan?

Kemudian kalau Anda sudah paham tapi terus bermain api, siapapun akan memaklumi, kalau suatu saat nanti Anda akan terbakar. Bahkan tidak cuma sekali. Peace. Saya cinta perdamaian. Mais non, je ne suis pas Charlie.

Post a Comment for "Saya Cinta Damai, Karena Itu Saya Bukan Charlie"