Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Sesekali, Perlulah Mengabaikan Media Sosial

Untuk hidup yang lebih normal, sesekali lepaskanlah diri dari media sosial
- Oleh Ihsan Maulana

Seingat saya, dulu Friendster sebagai media sosial yang merajai dunia maya terasa menyenangkan. Perdebatan yang terjadi di sana hal-hal yang ringan saja. Sampai kemudian Facebook masuk dengan segenap kecanggihannya. Saking canggihnya, lama-lama, kita jadi terbiasa posting apapun dan memperselisihkan segala sesuatu.

Mudah saja menyebut contohnya. Hingga hari ini di Facebook, masih panas perselisihan antara pendukung Prabowo versus Jokowi sisa Pilpres 2014, KMP versus KIH di Dewan, Wali Kota Surabaya Rismaharini atau Wali Kota Bandung Ridwan Kamil dibandingkan Gubernur DKI Ahok, Cristiano Ronaldo versus Lionel Messi, Wahabi versus Syiah, dan masih banyak lagi.

Saya bertanya-tanya, inikah fungsi media sosial? Ia memang mendekatkan jarak geografis para anggotanya. Tapi dalam waktu bersamaan, ia memperlebar selisih ideologi para anggotanya.

Keadaan ini diperparah dengan kebijakan Facebook menerima iklan berita, dan dengar-dengar juga akan menjadi penyedia berita semacam Google News atau Yahoo! News. Maka bisa dipastikan, kutub-kutub yang bertentangan tadi akan menemukan medan perang yang lebih luas.

Salah satu bentuk “perang” yang sering meletup di beranda saya biasanya tentang isu-isu keagamaan kontemporer. Barangkali, itu karena banyak teman saya yang berasal dari kaum santri. Sering, perdebatan lebih terasa sebagai debat kusir dibanding usaha dialektis untuk mencapai saling pengertian.

Facebook sejatinya mengidealkan bahwa yang menjadi teman kita adalah saudara atau teman-teman sekomunitas di dunia riil. Namun dalam praktiknya, teman itu bisa mencapai 5.000-an, dan sebagian besar justru tidak pernah bertemu muka dengan kita.

Terkadang, saya tak bisa menahan diri saat membaca status atau komentar seorang “teman” yang grusa-grusu, malas tabayyun (cek & ricek fakta), atau terlalu tendensius. Tapi, maklumi saja, inilah media sosial. Ia siap menjebak kita masuk dalam pusaran perdebatan-perdebatan yang tidak perlu.

Sisi negatif yang lain, adanya oknum-oknum yang dengan lancangnya menandai (tag) kita untuk promosi bisnisnya atau status konyolnya. Untuk mengobati kejengkelan hati, saya sampai sering meng-unfollow seseorang, walaupun status pertemanannya tetap saya biarkan.

Media sosial pun telah menjelma menjadi semacam showroom. Tempat pamer bin riya’. Apa gelarmu, patutkah bila disandingkan dengan gelarku? Apa jabatanmu, apa jabatanku, siapa yang lebih hebat di antara kita di suatu bidang? Sedahsyat apa ilmumu dibandingkan dengan ilmuku? Aku sudah ke sana-sini, kamu sudah menaklukkan tempat mana saja? Ini makan siangku, apa makan siangmu? Ini amalanku, mana amalanmu?

Sementara di sisi lain, ketika Anda curhat tentang musibah yang Anda alami, banyak “teman” memberikan like dan komentar empatiknya. Namun tak ada yang memberikan solusi riil, karena mereka kemudian sibuk menebar like di tempat lainnya.

Tiba-tiba, saya rindu dengan kehidupan sebelum media sosial secanggih sekarang.

Kita berjoging tanpa menyalakan aplikasi Endo Mondo atau mengaktifkan location terlebih dahulu. Sebelum kita makan, kita berdoa, bukannya malah memotreti hidangan. Sebelum kita tidur, kita bersyukur dengan apa yang terjadi hari ini, bukannya mengecek newsfeed media sosial. Kita berfoto-foto saat traveling hanya demi kenangan dan dokumentasi, bukannya untuk pencitraan dan mendapatkan banyak likes.

Rasanya, memang, sesekali kita perlu terlepas dari ponsel dan mengabaikan media sosial. Supaya hidup normal kita menjadi indah kembali.

Post a Comment for "Sesekali, Perlulah Mengabaikan Media Sosial"