Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Ambruknya Radio Bung Tomo dan Miskinnya Penduduk Asli Kedondong

Cagar budaya di Surabaya yang terabaikan itu
- Oleh Ihsan Maulana

Ribut-ribut soal bangunan tempat Bung Tomo, di Jalan Mawar 10-12 Surabaya, yang dirubuhkan membuat pikiran saya terbang ke masa silam. Saya melewatkan masa kecil di perkampungan Kedondong Kidul, Kelurahan Tegalsari, Surabaya. Hanya beberapa puluh meter dari Jalan Mawar itu.

Para tokoh nasional dan lokal pernah hidup dan bergeliat di daerah ini. Sebutlah Sunarto Sumoprawiro, Wali Kota Surabaya sebelum Bambang D.H. dan Tri Risma Harini. Cak Narto asli orang kampung sini. Rumahnya di Kampung Malang, Kelurahan Tegalsari.

Lalu ada pula Bunda Dorce yang sekarang kondang di Jakarta. Pada masa melaratnya, Dorce tinggal di Kedondong. Saleh Mukadar juga. Dulu, mondar-mandirnya di sana juga. Saat Soeharto dulu menindas Megawati, dia larinya ke Pandegiling, di samping Kampung Kedondong. Gombloh, penyanyi Kebyar-kebyar nongkrongnya di Kedondong. Banyaklah, pokoknya.

Sebagaimana diketahui bersama, akibat pemberitaan akhir-akhir ini, salah satu peristiwa bersejarah juga ada di kawasan ini. Di Jalan Mawar, tepatnya. Di sanalah tempat siaran pengobar semangat arek-arek Suroboyo berjuang melawan penjajah. Ini juga tergolong bangunan cagar budaya.

Lalu ingatan saya melompat ke daerah ini ketika belum banyak mobil. Ketika saya masih kecil, kami kerap bermain bola di depan tempat siaran Bung Tomo itu. Di sebelahnya Jalan Cendana. Sekarang bernama Jalan Kombes Pol. M. Duryat.

Saya masih ingat, ayah seorang kawan harus menjual rumah penuh kenangannya untuk perluasan gereja seharga 1 miliar. Bagi keluarga kawan saya, tentu itu angka yang sangat luar biasa. Tidak hanya ayah kawan saya, akhirnya satu per satu rumah di sana pun dijual pemiliknya. Masyarakat asli Kedondong pelan-pelan tersingkirkan. Demi uang.

Bukannya mereda, tren ini malah semakin menggila saat ini. Puncaknya, itu tadi, rumah kenangan tempat siaran Bung Tomo akhirnya kena juga! Dijual ke pihak Jayanata, sebuah mal kecantikan dan kosmetik yang berdiri megah di sebelahnya.

Alasannya? Apalagi kalau bukan soal uang. Jayanata hendak menjadikannya lahan parkir bagi tamu-tamunya.

Bagaimana mungkin? Pemkot Surabaya seharusnya punya patokan jelas, mana yang boleh dibuat bisnis dan mana yang harus dipertahankan sebagai cagar budaya.

Tapi memang aneh juga. Rasanya, bangunan tempat Bung Tomo sembunyi dari penjajah itu tak pernah dipromosikan sebagai situs wisata oleh Pemkot. Tidak seperti cagar budaya-cagar budaya lain yang dikunjungi, misalnya, oleh bus pariwisatanya. Ada apa ini?

Yang jelas, sekarang, saya sulit menemukan kawan-kawan masa kecil saya di kawasan Kedondong. Semuanya pergi entah ke mana. Banyak yang kemudian pindah ke pinggiran Surabaya, baik di Sidoarjo maupun Gresik. Saya sendiri sekarang tinggal di Sidoarjo dan sedang menuntut ilmu di Australia.

Mereka yang bertahan cenderung tidak punya pilihan lain. Lihatlah, rumah-rumah orang Kedondong asli yang tersisa hampir tidak memenuhi standar hunian. Kedondong Kidul yang dulu bisa dimasuki mobil, sekarang sulit. Tinggal Jalan Kedondong dan Kedondong Lor yang agak lega.

Ironisnya, di saat para warga asli semakin terhimpit, setiap pekan kami disuguhi pemandangan mobil-mobil mewah kendaraan jamaah Gereja Mawar Sharon. Sementara untuk naik motor menuju masjid-masjid saja kami kesulitan lantaran jalan yang kian sempit. Tempat kami main sepakbola di Jalan Mawar? Jangan tanya. Jelas sekarang tidak memungkinkan lagi.

Lokasi Bung Tomo berjuang lewat radio kini rata tanah

Saya tidak tahu Bu Risma selaku wali kota Surabaya mengetahui hal ini atau tidak. Saya juga tidak tahu apakah ada solusi tentang tempat Bung Tomo yang terlanjur sebagian besar rata oleh tanah itu. Semoga saja dia tidak hanya sibuk membangun jalan dan mempercantik taman.

Post a Comment for "Ambruknya Radio Bung Tomo dan Miskinnya Penduduk Asli Kedondong"