Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

10 Dosa Angkutan Umum terhadap Penumpang

Dinas Perhubungan (Dishub) Jawa Barat per 6 Oktober 2017 resmi melarang transportasi berbasis aplikasi, baik itu roda empat maupun dua. Dishub dan Pemerintah Daerah (Pemda) Jabar sepakat mendukung aspirasi Wadah Aliansi Aspirasi Transportasi (WAAT) Jawa Barat agar Go-jek, Grab, Uber, dll. tidak beroperasi sebelum terbit peraturan baru mengenai transportasi daring. Praktis, era angkot yang karut-marut kembali berjaya di bumi parahiyangan.

10 Dosa Angkutan Umum terhadap Penumpang

Dear Dishub, Pemda, WAAT, Organisasi Angkutan Darat (Organda), dan kawan-kawan, izinkan saya menjelaskan mengapa pelarangan ini keliru. Benar secara hukum, memang. Tetapi tidak adil terhadap konsumen, juga para pengemudi transportasi daring yang pekerjaannya hilang pasca pelarangan ini.

Sebagai titik awal, cobalah lakukan survei, siapa yang lebih konsumen cintai: taksi/ojek online atau transportasi publik? Jawabannya sudah tertebak, sebenarnya.

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pernah mengadakan survei pada 5-16 April 2017. Respondennya 4.668 orang. Mereka cenderung memilih transportasi daring, karena murah (84,1%), cepat (81,9%), nyaman (78,8%), dan aman (61,4%). Lalu, sebanyak 63% responden menyatakan tidak setuju bila pemerintah sampai ikut-ikut mengatur transportasi daring.

Beberapa survei yang lebih baru pun kesimpulannya senada. Warga, kecuali mereka yang belum akrab dengan teknologi, lebih senang naik taksi atau ojek daring. Pasalnya, transportasi konvensional (angkot, bus, elf, dll.) itu terlalu banyak dosa. Ada setidaknya 10 dosa, berdasarkan pengalaman dan pengamatan saya:

  1. Sopir transportasi publik banyak yang ugal-ugalan. Mereka seperti tidak peduli dengan nyawa penumpangnya. Mungkin karena kejar setoran.
  2. Mereka anti aturan. Kecuali bus-bus Trans, jangan berharap sopir-sopir itu mau berhenti hanya di tempat-tempat atau halte tertentu. Jalan mereka di jalur motor, kadang zigzag ke jalur mobil, mengerem mendadak, berjalan lambat sekali, tetapi bisa tiba-tiba nyelonong dengan gas penuh. Pokoknya, semau mereka.
  3. Arogan. Contohnya, mereka terkadang menentukan tarif seenaknya, kursi sudah penuh tetap saja bilang, “Masih muat, masih muat! Ayo, yang di dalam, tolong geser!” Berlawanan dengan adagium “pembeli adalah raja”, di sini merekalah rajanya! Sedangkan penumpang hanya tamu kelas bawah. Berani protes ke raja, siap-siap saja diolok-olok, dibentak, diturunkan tengah jalan, atau dikasih tarif mahal.
  4. Hobi ngetem di mana pun dan selama apa pun. Ini tidak hanya membuat jengkel penumpang yang sudah berada di dalamnya (karena waktu produktifnya terbuang sia-sia), tetapi juga para pengendara lainnya (karena tindakan tersebut jelas membuat jalan macet).
  5. Perokok berjaya. Jangankan menegur penumpang yang merokok, sopirnya saja merokok di sepanjang perjalanan!
  6. Armadanya cenderung kotor, bau, panas, dan reyot. Orang-orang angkutan konvensional ini gemar memprotes armada online tidak pernah uji kir, tetapi kendaraannya sendiri memprihatinkan, meskipun lolos kir tiap semester. Jelas, mobil-mobil taksi aplikasi jauh lebih meyakinkan.
  7. Sulit membuat hati penumpang tentram. Ada saja incaran bahaya copet, tukang palak, penumpang cabul, penipu, dan sebagainya.
  8. Tidak nyaman. Pengamen leluasa masuk. Begitu pula pedagang asongan, pengemis, dan sebagainya. Beberapa di antara mereka suka memaksa penumpang, baik secara terang-terangan maupun dengan bahasa tersirat seperti, “Saya sudah bertekad untuk berhenti membunuh orang, mau cari rezeki halal, mohon dibantu.”
  9. Tidak profesional. Kalau penumpangnya sedikit, siap-siap saja diturunkan sebelum tujuan dan disuruh pindah ke kendaraan plat kuning di belakangnya.
  10. Suka mogok alias berdemo. Mana peduli mereka bahwa ini artinya menelantarkan penumpang. Sudah begitu, demonya terlihat arogan pula! Sopir yang memutuskan tidak ikut demo dicegat, dipaksa berhenti narik, dan bergabung dengan demo tersebut. Jika tidak mau, ada yang sampai dipukuli. Main hakim sendiri. Ini sesama angkutan konvensional. Kalau dengan sopir angkutan online, sudah pasti sikapnya lebih brutal.
Sebenarnya, masih banyak dosa-dosa angkutan umum plat kuning. Tetapi rasanya, sepuluh itu yang perlu dibenahi terlebih dahulu. Semua ini menunjukkan bahwa pemegang otoritas tidak tegas menghadapi sopir-sopir yang merasa punya banyak kawan dan merajai jalanan itu.

Seandainya pemerintah masih juga memihak gerombolan ini dan membiarkan sistemnya berjalan selunak ini, lalu lintas Indonesia selamanya akan semrawut. Jangan bermimpi transportasi negara kita bisa setertib Singapura, Jepang, Eropa, atau Amerika Serikat.

Transportasi Online pun Memiliki Dosanya Sendiri


Go-jek, Grab, Uber, dll. sendiri bukanlah jasa yang tanpa cacat. Sekadar menyebut contoh dosa-dosa mereka: konsumen terkadang kesulitan mendapat pengemudi (sehingga sistem otomatis menaikkan tarifnya secara gila-gilaan), aplikasi atau jaringan suka bermasalah, pengemudi seenaknya membatalkan pesanan, plat nomor tidak sama dengan kendaraan yang dibawa, dan sebagainya. Mereka pun berandil memacetkan jalanan, jika kita mau jujur.

Namun dengan dosa-dosa itu, mengapa mereka masih menjadi primadona di kalangan masyarakat urban? Padahal, armada transportasi daring seharusnya terasa “terlalu mahal” dibandingkan transportasi massal publik.

Jawabannya mungkin sederhana. Kalau transportasi daring itu sampai terlihat begitu murah dan nyaman, itu karena sistem transportasi publik kita yang kelewatan buruk dan semrawutnya.

Solusinya, seharusnya transportasi publik massal yang direformasi. Atur ulang dan tertibkan! Jangan mau tunduk bila para sopir atau organisasi angkutan menentang reformasi ini. Libas saja!

Pemerintah, dalam hal ini Menteri Perhubungan, jangan membiarkan lalu lintas tidak tertib oleh armada angkutan umum ini. Jangan biarkan pula pengguna merasa tidak nyaman naik transportasi publik. Jangan mengurusi transportasi online dulu. Berkacalah dan mulailah berbenah.

- Tulisan: Win Andriyani

Post a Comment for "10 Dosa Angkutan Umum terhadap Penumpang"