Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Sebaiknya Berbisnis dengan Passion atau Purpose?

Sebaiknya Berbisnis dengan Passion atau Purpose?

Tujuan (purpose) dan gairah (passion) adalah dua hal krusial yang akan membuat bisnis kita sukses. Sebuah penelitian mengungkap, sebanyak 80 persen teratas (orang sukses) mempunyai gairah dan tujuan dalam hidupnya. Sementara 10 persen terbawah (orang gagal) tidak memilikinya.

Gairah membuat kita mau terus berjalan meski bisnis belum membukukan profit. Kita memang memerlukan gairah. Bayangkan seorang pebisnis yang menawarkan jasa manajemen media sosial atau medsos, tetapi tidak memiliki passion di bidang itu. Apa yang terjadi seandainya dalam tiga atau empat bulan ia tidak kunjung mendapatkan klien? Pasti ia frustrasi dan segera menyuntik mati bisnisnya itu.

Lain cerita bila ia memiliki gairah dalam mengisi konten medsos, membaca statistik akunnya dari hari ke hari, bercakap-cakap dengan warganet, mempelajari algoritma medsos, dan sebagainya. Meskipun tidak ada klien, ia tetap akan asyik bereksperimen di medsos-medsos tersebut. 
 

Purpose vs Passion

Tujuan itu penting, demikian pula gairah. Namun, jika harus memilih, apa yang Anda utamakan? Manakah yang sekiranya lebih berpengaruh terhadap sukses kita di masa depan? Apakah mengerjakan hal-hal yang sangat kita gemari (passion) atau memiliki tujuan yang jelas?

Gairah membuat kita gembira dalam bekerja, apapun yang terjadi. Hal inilah yang selalu diagung-agungkan sebagai alasan utama dalam berbisnis. Anda pasti bolak-balik mendengar motivator atau konsultan bisnis memberi wejangan, "Bisnis terbaik adalah bisnis yang sesuai dengan passion Anda!"

Di satu sisi, wejangan itu benar. Menekuni suatu bisnis tanpa gairah hanya akan membuat kita cengeng, gampang bosan, dan terlalu cepat menyerah.

Namun, survei membuktikan, bila hanya gairah yang dimiliki oleh seorang pebisnis, peluang suksesnya di kisaran 24 persen saja. Sebaliknya, pebisnis yang mempunyai tujuan saja tanpa menyukai apa yang dikerjakan, justru berpeluang sukses sebesar 63 persen.

Bagaimana mungkin?

Sederhana, karena niatnya sudah berbeda. Segala sakit dan penderitaan dalam bekerja akan kita tahan demi mencapai tujuan. Katakanlah, Anda ingin membeli rumah untuk keluarga (tujuan). Anda pun pontang-panting menabung dan melakukan apapun yang halal, sekalipun pekerjaan itu membosankan dan melelahkan (tanpa gairah). Cepat atau lambat, terbelilah rumah itu.

Sebaliknya, jika Anda begitu menyukai pekerjaan, tetapi tidak termotivasi untuk mencapai sesuatu (tanpa tujuan), kehidupan Anda memang akan menyenangkan. Namun, Anda menjadi terlalu santai dan hanya berputar-putar di tempat. Bisnis pun tidak berkembang.
    

Growth Mindset vs Fixed Mindset

Selama puluhan tahun, Profesor Carol Dweck meneliti bagaimana cara otak bekerja. Dalam bukunya, Mindset - The New Psychology of Success, guru besar psikologi di Universitas Stanford itu membagi manusia menjadi dua tipe: berkembang (growth mindset) dan mandek (fixed mindset).

Anda tahu Thomas Edison? Wright Brothers? Jackson Pollock? Marcel Proust? Elvis Presley? Ray Charles? Charles Darwin? Tokoh-tokoh tersohor itu memiliki satu kesialan yang sama: prestasi akademis mereka di sekolah tidak bagus. Para guru bahkan memvonis mereka tidak memiliki masa depan.

Namun, mengapa mereka akhirnya sukses besar? Menurut Dweck, itu karena mereka memiliki pola pikir yang berkembang. Tokoh-tokoh itu melihat kegagalan sebagai kesempatan belajar lagi untuk memperbaiki diri. Mereka tidak terlalu terbuai oleh bakat, hobi, dan gairah, sehingga tidak sampai terjerembap dalam pola pikir yang mandek.

Bagaimana dengan diri kita sendiri? Ketika bisnis tidak berjalan sesuai rencana, bahkan mengalami kerugian dan harus ditutup, mana di antara dua opsi ini yang lebih tepat dalam menggambarkan isi benak Anda:
  • Fixed mindset: "Saya lahir dalam keadaan kurang gizi, sehingga tumbuh menjadi pemuda bodoh. Ibu saya saja sudah tidak berharap banyak. Makanya, sekolah saya distop setelah lulus SMP. Dan sekarang, di umur saya yang sudah kepala tiga, saya masih harus bekerja dari pagi sampai pagi lagi sekadar untuk memenuhi kebutuhan dasar pribadi. Saya memang selalu sial."
  • Growth mindset: "Wah, gagal lagi! Berarti, saya harus berusaha lebih keras lagi untuk peluang-peluang berikutnya. Wajarlah, saya memang kurang pintar, tetapi itu bukan salah siapa-siapa. Ayah dan ibu tidak punya uang untuk membeli makanan bergizi dan mencukupi pendidikan saya ketika saya kecil. Tak apa, saya bisa bertahan sejauh ini. Tidak ada alasan untuk tidak bertahan, bahkan meraih kesuksesan, di masa depan."
Semoga pilihan kedua yang Anda ambil.

Universitas Columbia, Amerika Serikat pernah mengadakan eksperimen terhadap sekelompok mahasiswa. Saat diberi tahu jawaban-jawaban ujian yang salah, mahasiswa dengan pola pikir berkembang antusias memperhatikan.

Sementara mahasiswa dengan pola pikir mandek tidak berniat mencari jawaban yang benar atau apa kesalahan yang telah mereka lakukan. Seolah mereka berpendapat, "Yang sudah berlalu, biarlah berlalu. Tidak ada gunanya ditengok lagi."

Jika Anda lebih mengutamakan gairah daripada tujuan bisnis, bisa jadi Anda terjebak dalam pola pikir mandek. Sebab, tidak ada tujuan untuk dicapai. Anda hanya menikmati apa yang Anda kerjakan, tanpa target-target terstruktur ke depannya.

Orang-orang dengan pola pikir mandek sulit menerima kekalahan, karena dengan begitu mereka tidak mendapat pengakuan terhadap gairahnya. Atau bahkan lebih parah: melihat kekalahan sebagai "salah pilih hobi". Mereka memandang kesuksesan secara hitam atau putih. Juara atau jadi orang yang tak berguna. Terbaik atau tidak sama sekali. Makanya, mereka takut untuk terjun ke dalam kompetisi di bidangnya.

Sebaliknya, orang-orang dengan pola pikir berkembang lebih santai menyikapi kegagalan dan kekalahan, tidak merasa malu, tetapi terus belajar. Orang-orang dengan growth mindset selalu melakukan purposeful engagement, keterlibatan total dengan tujuan yang jelas dalam pekerjaan serta kehidupannya.

Jadi, Pilih Tujuan atau Gairah?

Memang, dalam praktiknya, kita mustahil hanya memiliki gairah, tanpa sedikit pun memikirkan tujuan bisnis. Bukan hanya memungkinkan, memiliki keduanya secara bersamaan jelas jauh lebih baik.

Namun jika harus memilih salah satu, maka seharusnya Anda memprioritaskan tujuan (purpose), bukan gairah (passion). Begitu menetapkan tujuan, meskipun tidak ada gairah dan bakat di sana, seseorang dengan pola pikir berkembang otomatis akan mencanangkan, "Apa yang harus saya pelajari agar saya bisa melakukan ini."

Hal ini juga berlaku hampir di segala bidang, seperti pengasuhan anak (misalnya bertujuan "menjadikan anak yang cerdas dan berakhlak"), agama (misalnya bertujuan "memantaskan diri mendapat surga"), pendidikan (misalnya "harus mendapat gelar master sebelum usia 30"), dan seterusnya.

Dalam setiap bisnis pun kita tidak disarankan untuk sekadar mengumpulkan orang-orang yang memiliki keterampilan dan minat yang sama, bukan? Kita harus menetapkan tujuan bersama untuk diri sendiri, organisasi, maupun bawahan. Niscaya, sukses akan lebih cepat dicapai.



- Tulisan: Arta Nusakristupa, Konsultan UMKM dan Start-up

Post a Comment for "Sebaiknya Berbisnis dengan Passion atau Purpose?"