Seni Ibarat Bunga di Halaman Rumah
Saya suka menulis sejak SD. Tapi setelah lulus kuliah, saya masih harus mencari pekerjaan lain yang lebih menjanjikan dari segi keuangan. Meskipun pekerjaan yang saya cari tetap berhubungan dengan penulisan, seperti penulis atau editor. Ini tak lain sebagai pembuktian pada keluarga bahwa saya bisa hidup dari menulis. Dan saat itu saya tidak peduli uangnya banyak atau tidak, pokoknya maju terus sebagai penulis!
Dalam sejarah keluarga saya, tidak ada seorang pun yang menjadi seniman. Yang laki-laki bekerja di kantor. Yang perempuan, kalau tidak bekerja kantoran, memberikan les, ya ibu rumah tangga. Menariknya, saya melihat sebagai ibu rumah tangga pun sebenarnya kita bisa tetap menulis dan menghasilkan.
Menulis lepas. Freelancer. Mompreneur. Saya rasa, inilah profesi yang menjembatani antara “bekerja di kantor meninggalkan anak dan rumah” dengan “keinginan wanita untuk aktualisasi diri”. Seapes-apesnya penulis lepas, dia tetap bisa menghasilkan uang dari blog. Syukur-syukur, dia bisa menulis buku yang laris.
Namun profesi penulis ini rupanya masih diremehkan oleh keluarga saya (waktu itu). Karena ada anggapan bahwa berkutat di karya seni tidak akan menghasilkan banyak uang atau karir yang gemilang. Saya minder juga, waktu itu. Kenapa sih seni tidak bisa disamakan dengan bidang kerja yang lain? Dan kenapa harus direndahkan?
Padahal, di rumah saya dulu, di Cicalengka, ada banyak barang seni. Almarhum Papap hobi mengoleksi furniture dari keramik, kayu, atau tanah liat. Lukisan dan ukiran kaligrafi juga ada beberapa. Saya sendiri kurang begitu suka barang-barang seperti itu. Minat seni saya tidak pada barang, melainkan pada buku, musik, dan film.
Semua orang punya selera seni yang berbeda. Ibu saya gemar musik, sama seperti kakak-kakak saya. Jadi bisa dibilang, kami ini keluarga seniman. Walau tidak dapat menghasilkan dari dunia seni, namun mereka bisa menghargai dan menikmati karya seni.
Wajar saja. Kalau ditelusuri, mungkin setiap orang pada dasarnya punya jiwa seni. Darah seni. Entah ini bawaan atau pengaruh lingkungan. Yang jelas, pada gilirannya, karya seni bukanlah mainan utama orang-orang modern. Seni bukanlah prioritas, melainkan hiburan atau semata ajang relaksasi, sebagai teman di saat galau.
Bagi saya sendiri, seni itu ibarat bunga di halaman rumah. Mungkin kehadirannya tidak penting. Tapi kalau ia ada, rumah akan terlihat cantik dan menarik. Saya pun tetap memutuskan untuk tidak meninggalkan seni, khususnya seni menulis. Sementara untuk membayar tagihan-tagihan, menabung, berinvestasi dan traveling, tentu saya menggunakan strategi yang lain.
Post a Comment for "Seni Ibarat Bunga di Halaman Rumah"
Butuh artikel-artikel semacam ini? Atau, punya ide membuat buku tetapi kurang bisa menulis? Tidak sempat? Kami bersedia membantu menuliskannya secara profesional. Kami juga menyediakan jasa editing maupun rewriting tulisan dalam bahasa Indonesia maupun Inggris.