Bibit-bibit Terorisme di Sekitar Kita
Misalnya, pencurian baja dan lampu di Jembatan Suramadu, jembatan antara Madura dan Surabaya. Sebagian pelaku yang tertangkap memang mengaku melakukannya lantaran alasan ekonomi. Namun, sebagian ternyata hanya untuk bangga-banggaan.
Bibit-bibit semacam ini juga kita temui seperti pada tahun baru kemarin. Lihatlah, segerombolan pemuda yang bermain petasan tanpa kenal waktu dan tempat. Betapa mudahnya mereka “meneror” warga lain yang dipikirnya lemah (karena tidak bergerombol) dengan menyalakan petasan-petasan yang memekakkan.
Bibit-bibit terorisme juga bisa sesimpel penelepon misterius yang mengatakan (dengan bohongnya) bahwa ada bom di gedung ini. Begitu orang-orang dalam gedung semburat ketakutan, satu-satunya yang meledak ternyata gelak tawa penelepon iseng itu.
Barangkali kita tidak menyebut orang-orang seperti ini sebagai teroris. Kalau toh ada kesamaan, itu adalah aksi yang berpotensi mencelakakan orang banyak.
Saya lahir dan dibesarkan di Grobogan, daerah tadah hujan yang populer karena kemiskinannya. Rumah orang tua saya kira-kira 15 meter dari rel kereta api Jakarta-Surabaya. Bertahun-tahun, saya meniti bantalan rel kereta api dengan kaki sepanjang beberapa kilometer untuk sampai ke sekolah. Itu saya jalani dari SD hingga SMA.
Saya pun menjadi saksi pencurian rel oleh saudara-saudara saya. Entah mereka paham atau tidak tindakan “terorisme” itu mengancam keselamatan para penumpang kereta dan kru-krunya. Saat saya dewasa, pencurian-pencurian semacam ini ternyata masih juga terjadi.
Masih seputar kereta api. Kalau Anda biasa bepergian lewat jalur rel, coba amati jendela keretanya. Jendela-jendela KA Argo Bromo, Argo Anggrek, atau Gumarang yang dulu berlapis kaca itu kini telah diganti dengan bahan semacam plastik.
Dahulu, ketika semua jendela itu dibuat dari kaca murni, banyak yang pecah terkena lemparan batu para “teroris” kesiangan. Saya menyaksikan sendiri tawa kegirangan mereka saat melihat jendela kaca ambyar terkena batu, tanpa peduli nasib para penumpang yang terkena pecahan kaca.
Apa motif mereka? Mungkin karena klub sepakbola mereka kalah, bentrok antarsuporter, atau iseng saja. Toh, tidak pernah ada polisi atau pihak berwajib yang menangkap mereka. Tidak masuk akal juga kalau beribu-ribu polisi disiagakan di sepanjang rel untuk mengantisipasi adanya lemparan batu.
Contoh lain, di desa saya, hingga sekarang tak ada jaringan telepon. Tiangnya ada, tetapi kabelnya tak ada. Sebab, kalau siang hari Telkom memasang jaringan kabel telepon, malam harinya kabel-kabel itu lenyap digulung para pencuri.
Telkom tentu mencak-mencak, dan seolah-olah bilang, “Terserah! Bukan urusan kami lagi!”
Akibatnya, hingga hari ini, Telkom membiarkan tiang-tiang telepon itu menancap berderet menunjuk langit tanpa kabel seutas pun.
Pencuri Jembatan Suramadu, penelepon palsu, penyulut mercon yang tak tahu tempat dan waktu, pencuri rel, pelempar kereta maupun pencoleng kabel memang bukan kriminal murni. Namun, inilah jawaban dari pertanyaan mengapa kita tak pernah bisa lepas dari lingkaran kejahatan. Bahkan kejahatannya tambah lama sepertinya tambah gila saja.
Dari masyarakat yang seperti ini, akan lahir penjahat-penjahat sejati dengan bakat yang menonjol. Mereka adalah maestro-maestro tak berguna yang setiap saat siap menebar kengerian dan meneteskan darah sesamanya. Tanpa sadar, lingkungan rumah kita yang cukup toleran terhadap aksi kenakalan-kenakalan kecil menginkubasi kreativitas calon-calon penjahat itu.
- Tulisan: Arta Nusakristupa
Post a Comment for "Bibit-bibit Terorisme di Sekitar Kita"
Butuh artikel-artikel semacam ini? Atau, punya ide membuat buku tetapi kurang bisa menulis? Tidak sempat? Kami bersedia membantu menuliskannya secara profesional. Kami juga menyediakan jasa editing maupun rewriting tulisan dalam bahasa Indonesia maupun Inggris.