Kenapa Sepak Bola Indonesia Selalu Apes
Persepakbolaan Indonesia nyaris berpesta. Namun, ya, hanya nyaris. Kita pun bertanya-tanya, dosa apa kita ini sampai prestasi selalu berhenti di tataran nyaris, nyaris, dan nyaris? Dasar apes!
Selang tak beberapa lama, di bulan ini juga, Timnas U-16 juga nyaris berlaga di Piala Dunia U-17 di Peru tahun depan. Adik-adik U-16 gagal di Piala Asia juga dan di “nyaris” yang sama. Dalam laga perempat final, mereka dipukul 2-3 oleh Australia.
Kita tahu, sepak bola di Indonesia adalah olahraga primadona. Tidak kurang-kurang dukungan dari penggemarnya maupun pemerintah. Namun anehnya, di bidang ini, kita seperti selalu sial. Jangankan Piala Dunia, di Asia Tenggara saja kita sering gagal juara. Tanya kenapa?
Bukan, ini bukan lagi soal kemampuan pemain lokal. Menurut saya, pemain-pemain bola kita justru sudah banyak kemajuan dan bisa dibilang sanggup dibandingkan dengan rata-rata pemain internasional. Saya justru melihat tiga penyebab lain.
(1) Pelatih Masih Suka Merekrut Pemain Mungil
Jangan remehkan faktor tinggi badan. Komentator sepak bola di televisi selalu mengatakan, “Tendangan bebas seperti ini berbahaya, karena postur lawan tinggi-tinggi, Bung!” Atau, “Sebaiknya kita jangan melakukan umpan-umpan lambung, karena itu akan menguntungkan lawan yang rata-rata jangkung.”Kita semua sadar, tinggi badan merupakan keuntungan. Namun, kita tetap abai dan berpendapat, “Yang pendek biasanya lebih lincah.”
Baik, seberapa berguna kelincahan itu jika tersenggol sedikit langsung ambruk? Ya, kejadian itu akan berbuah tendangan bebas. Namun selama kita tidak punya algojo bola-bola mati, apalagi jika lawan sering memenangkan duel-duel udara, sia-sia saja, bukan?
Dalih lain, pemain-pemain pendek larinya lebih cepat.
Oke. Tahukah Anda, dua langkah orang bertubuh 180 cm sama dengan tiga langkah orang bertubuh 160 cm. Jadi, kita melangkah enam kali, pesepak bola lawan cukup melangkah empat kali. Ujung-ujungnya, lawan tetap tak terkejar.
Lagi pula, apa yang bisa diharapkan dari pemain pendek ketika man to man marking terhadap pemain jangkung yang menggiring bola? Mencuri bola itu dengan kaki-kaki pendeknya? Tanpa pelanggaran?
Omong-omong, berapa tinggi talenta-talenta terbaik di dunia sepak bola Indonesia saat ini? Lihatlah, Todd Rivaldo Albert Ferre (U-19) 160 cm, Egy Maulana Vikri (U-19) 165 cm, Febri Hariyadi (U-23) 167 cm, Evan Dimas Darmono (U-23) 166 cm, Muhammad Hargianto (U-23) 168 cm, Septian David Maulana (U-23) 174 cm, Irfan Jaya (U-23) 162 cm.
Sementara itu, Lionel Messi yang dijuluki pemain cebol pun ternyata tingginya 1,7 meter. Itu Messi, talenta super di jagat bola kaki dunia! Nah, kita ini kadang cuma terinspirasi oleh “pendeknya” Messi (yang ternyata tidak cebol-cebol amat), sementara “supernya” masih jauh.
Maka manakala memungkinkan, kenapa tidak menjadikan 170 cm sebagai batas bawah tinggi pemain timnas. Di zaman ini, tidaklah sulit mencari anak-anak setinggi itu. Di timnas saja sudah banyak. Misalnya, Osvaldo Ardiles Haay (U-23) 171 cm, Saddil Ramdani (U-19) 172 cm, Ilham Udin Armaiyn (U-23) 172 cm, Zulfiandi (U-23) 175 cm, atau Hansamu Yama Pranata (U-23) 181 cm.
Ini hanya saran saya. Alangkah bagusnya bila dalam rekrutmen, selain keterampilan menggocek bola serta kerja sama tim, pencari bakat dan pelatih mempertimbangkan pula tinggi badan. Ingat, tim-tim raksasa Asia yang dulunya juga mungil-mungil, seperti Korea Selatan, Jepang, atau Cina, sekarang sudah sejangkung dan segempal pesepak bola bule, Arab, dan Afrika.
Bagaimana dengan pemain-pemain pendek yang sudah terekrut? Apa boleh buat, pertahankan kalau memang mereka profesional, beretika, dan bagus permainan individu maupun kolektifnya. Bagaimanapun, mereka adalah aset berharga sepak bola Indonesia.
Tetapi secara bertahap, naikkan syarat tinggi badan minimal, khususnya dalam rekrutmen Timnas U-19 hingga senior. Agar mereka yang terobsesi masuk timnas, mau tidak mau, juga memperhatikan faktor gizi sedini mungkin.
Sementara untuk U-16, karena masih berada dalam masa pertumbuhan, belum perlulah pembatasan seperti ini. Namun, pembinaan mereka juga harus disertai dengan perbaikan gizi serta latihan-latihan yang memaksimalkan pertumbuhan tubuh.
(2) Organisasinya Karut-Marut
Di tubuh PSSI sendiri, ada banyak permasalahan. Mulai dari dugaan korupsi, sanksi FIFA, ketidakadilan terhadap klub, tunggakan, geger dengan Kementerian Pemuda dan Olahraga, absennya kompetisi usia junior (konon karena tidak bau duit), sampai jadwal penyelenggaraan yang tumpang tindih (pertandingan liga terselenggara bersamaan dengan laga timnas itu sudah biasa).Belum lagi soal bisnisnya. Media daring Tirto.id, pada 23 Maret 2018, menurunkan tulisan tentang pengurus PSSI yang sekaligus pemilik klub Liga 1. Nama-nama seperti Edy Rahmayadi, Iwan Budianto, Joko Driyono, Glenn Sugita, dan Pieter Tanuri disebut.
Kepemilikan rangkap ini patut disayangkan, karena berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Bagaimana kita berharap liga berjalan profesional dan netral kalau sudah begini?
Di samping itu, ini menandakan bahwa fokus orang-orang di dalam PSSI bukan semata kemajuan sepak bola Indonesia. Ada fokus-fokus lainnya, sehingga diakui atau tidak, akan memperlambat akselerasi kemajuan dunia sepak bola Indonesia.
(3) Suporternya Tidak Sportif
Kasus pengeroyokan suporter Persija yang berujung pada kematian beberapa bulan lalu sebenarnya tidak terlalu mengherankan kalau kita mencermati fanatisme antarsuporter di media sosial. Meskipun sudah banyak berubah, suporter kita masih mudah terprovokasi. Terutama suporter tim-tim yang memiliki sejarah rivalitas, seperti Persib-Persija atau Persebaya-Arema.Suka atau tidak, kita memang belum bisa sportif. Bukan hanya suporter bola, rasanya. Untuk olahraga lain pun demikian. Ketika atlet lawan terpeleset, kita malah menertawakan atau menyorakinya. Lawan memberi hormat ke penonton tribun, malah dikasih jempol ke bawah dan bonus, “Huuuu….”
Dalam pertandingan bulutangkis, ketika kok dipukul atlet kita, kita berteriak, “Waaaa…” Sedangkan ketika yang memukul kok adalah lawan, kita berteriak, “Huuuu…” Sering lihat adegan semacam ini, bukan?
Teror ke pihak lawan seolah menjadi kebanggaan. Bentuknya mulai dari kor ejekan, laser, sampai lemparan botol. Ini apa-apaan?
Tidakkah mereka, pelaku kebiasaan-kebiasaan negatif itu, berpikir tim kesayangannya akan dibalas perlakuan sama ketika menjalani laga tandang? Tidakkah mereka berpikir akan mengalami teror serupa saat bertamu ke stadion lawan?
Pun, ketika sedang bersatu, misalnya saat timnas berlaga, kita seperti merasa perlu mencari musuh baru. Tentu saja, musuh itu adalah tim lawan. Apalagi Malaysia. Dan seolah memusuhi Malaysia kurang seru, suporter kita juga mulai sentimen dengan Timor Leste, Vietnam, atau Myanmar.
Lawan bermain keras sedikit, wasit berlaku kurang adil, atau pelatih lawan agak arogan dan menebar psy war, sudah pasti suporter kita mengincarnya untuk diteror. Dari tribun, teror ini berlanjut hingga media sosial. Akun-akun bola yang mestinya mengajak “umatnya” bersikap dewasa malah mengompor-ngompori, “Malaysia berulah lagi. Kemarin, akunnya bilang begini.”
Lalu, selalu saja ada orang yang memprovokasi, “Gue nemu akun IG pelatihnya. Yuk, samperin!” Itulah awal dari spamming dan persekusi digital. Pemilik akun dijamin akan keteteran dengan ratusan, bahkan ribuan, notifikasi tiap jamnya dari warganet Indonesia.
Bahkan, ketika pihak lawan tidak berbuat apa-apa, kita melakukan dosa yang lain. Kita jemawa, “Indonesia juara. Lawan-lawannya dibantai. Lihat saja, negaramu berikutnya!”
Tanpa sadar, kesombongan semacam ini akan memberi beban moral kepada pemain dan pelatih kita. Yang sombong suporter, yang kena imbas tim kebanggaannya.
Sudahlah, kenapa kita seolah tidak paham bahwa sepak bola adalah hiburan belaka? Menang-kalah sudah biasa. Jangan terlalu dimasukkan hati. Apalagi sampai merugikan orang lain dan berbuat hal-hal negatif. Ingat, orang yang dirugikan dan dizalimi itu bisa mendoakan apa saja terhadap kita atau tim kita.
Jadi, masih bertanya-tanya kenapa tim sepak bola Indonesia selalu apes?
- Tulisan: Brahmanto Anindito