Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Terpesona oleh Yang Sunah, Yang Wajib pun Terabaikan

- Oleh Brahmanto Anindito

Suka atau tidak, harus diakui terkadang kita juga melakukan kesalahkaprahan ini. Sesuatu yang sifatnya hanya anjuran (dalam hukum Islam disebut sunah) lebih diseriusi ketimbang sesuatu yang pada dasarnya wajib. Penyebabnya bisa macam-macam. Bisa karena pencitraan (yang sunah itu lebih “terlihat” oleh publik), bosan (yang wajib dirasa begitu-begitu saja), atau hanya lantaran tidak tahu.

Ambillah contoh ibadah salat. Kadang-kadang, umat muslim lebih terpesona dengan manfaat-manfaat salat Dhuha, sehingga setiap salatnya dilakukan dengan khusyuk sekali. Tapi salat Subuh dikerjakan selewat saja, tanpa ada bekasnya alias hanya menggugurkan kewajiban. Kita juga terkadang kepincut dengan kekuatan salat Tahajud, tapi salat Isya’ dikerjakan sambil lalu. Syukurlah bila Anda tidak begitu.

Di lain sisi, beberapa ustadz dan motivator rajin “mempromokan” keunggulan-keunggulan bersedekah atau berinfak. Memang dalilnya kuat, langsung dari Alquran. Umat pun terus didorong untuk bersedekah, di kala berkelimpahan maupun berkesempitan harta. Karena katanya, “Setiap yang kita sedekahkan toh akan berbalik puluhan sampai ratusan kali kepada kita.”

Selama ini, logika umum berkata ketika saya punya utang 100 juta, namun duit saya hanya sejuta, maka saya harus serahkan satu juta itu untuk mencicil utang, lalu bekerja keras untuk melunasi sisanya.

Nah, yang begini ini dianggap strategi kuno. Disarankan, “Justru sedekahkan saja satu juta itu! Toh si pemilik piutang takkan senang bila cuma dibayar hanya segitu. Sedekahkan saja ke orang lain, tentu saja yang membutuhkan. Lalu berdoa, bekerja keras, dan yakinlah bahwa Allah akan membantu melunasinya.”

Wah, ini menyejukkan. Orang pun terpesona dengan khasiat amalan yang bernama sedekah itu. Padahal, ada kewajiban yang lebih esensial, dalam hal ini, yaitu membayar utang. Sudah jelas, Rasulullah menghimbau kita selalu menyegerakan membayar utang, bukan? Kalau bisa, jangan berutang!

Jika seseorang tidak memiliki utang, yang diutamakan hendaknya bukan sedekah. Melainkan zakat. Syukur-syukur zakat, sedekah dan infak dapat jalan bareng. Namun sekali lagi, zakat itu wajib. Sedekah atau infak itu sunah. Anda infak berjuta-juta atau bermilyar-milyar pun tidak akan menggugurkan atau mengurangi kewajiban berzakat. Sebagaimana orang umrah 10 kali pun tidak bisa menggantikan kewajiban berhajinya.

Yang saya maksud zakat tentu bukan zakat fitrah yang cuma beras 2,7 kilogram itu. Maksud saya adalah zakat mal yang 2,5% dari kekayaan kita. Nilainya memang hanya 2,5 persen. Tapi kalau dikumpulkan setahun bisa jutaan, bahkan puluhan juta bagi orang kaya, dan ratusan juta bagi orang yang kaya raya. Dan itu harus dikeluarkan tiap tahun!

Biasanya, kita merasa sudah menjadi muslim sejati dengan bersedekah tiap Jumat atau katakanlah tiap hari. Memang, itu bagus. Tapi menjadi ironis kalau giliran ditagih zakat yang sudah masuk nisab (setara nilai 85 gram emas) dan haul (berlalu satu tahun hijriyah), kita suka menunda-nunda pembayarannya, bahkan menolak membayar dengan alasan sedang tidak punya uang atau lupa mempersiapkan.

Kalau itu sampai terjadi, berarti kita tergolong orang yang salah kaprah. Asyik berkutat dengan yang sunah, lalu tanpa sadar mengabaikan yang wajib.

Sebentar lagi, kita merayakan Idhul Adha. Saya cuma ingin mengingatkan sebelum Anda membeli kambing atau sapi, sudahkah zakat mal Anda tahun ini dibayar? Kalau belum, sebaiknya hitung dan bayarkan itu dulu. Karena berkurban itu “hanya” sunah. Lakukan setelah yang wajib beres.

Post a Comment for "Terpesona oleh Yang Sunah, Yang Wajib pun Terabaikan"