Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Melapor Pajak Belum Jadi Kebiasaan

- Oleh Alva Altera

Meski sekarang belum 31 Maret, tapi target menjaring pajak tahun ini diprediksi gagal maning, gagal maning. Menurut Darussalam, pengamat perpajakan, hanya 37% wajib pajak yang menyetorkan Surat Pemberitahuan (SPT). Artinya, ada sekitar 63% yang mangkir tidak melaporkan SPT. Bahkan target menambah jumlah pemilik Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) sebanyak 120 juta pun meleset.

Maka ada usulan untuk memperpanjang masa pengampunan pajak (tax amnesty), dalam rangka menyosialisasikan pentingnya melaporkan pajak ini. Problemnya, apa benar tak terpenuhinya target pajak negara ini bisa diatasi dengan pengampunan pajak?

Rasanya bukan. Warga sudah antipati duluan mendengar kata pajak. Bukan hanya karena keseharian mereka sudah berat terhimpit oleh kebutuhan dapur, tapi juga karena merasa pajak tidak bermanfaat. Mereka merasa pajak yang dibayar akan dikorupsi oleh orang-orang tidak baik semacam Gayus Tambunan.

Uang hasil pajak pun dianggap tidak akan masuk kas negara, melainkan ke kantong Gayus-Gayus lainnya. Akibatnya, si wajib pajak tidak merasakan hasil pembangunan apa-apa dari uang yang telah dikeluarkannya. Jadi, sekalian saja tidak usah membayar pajak, kalau begitu?

Mengantisipasi prasangka ini, tentu Dinas Pajak harus terus melakukan pedekate kepada masyarakat. Agar tidak semakin saling salah paham. Korupsi memang masih terjadi. Tapi pajak pun harus tetap dikumpulkan demi pembangunan negara. Mengharapkan Indonesia benar-benar bebas korupsi baru kita membayar pajak, tentu sama saja dengan menanti lebaran monyet. Padahal, negara harus terus membangun.

Makanya, pemerintah juga harus mencari akal sebagai win-win solution. Pemerintah harus memberi nilai lebih untuk pembayar pajak, atau katakanlah pelapor pajak (karena tidak semua wajib pajak harus membayar pajak). Sehingga warga tidak merasa rugi capek-capek ke kantor pajak. Bukan hanya stempel “orang bijak” dan ucapan terima kasih seperti selama ini.

Misalnya, sekadar usul, wajib pajak yang sudah melaporkan SPT bisa mendapat diskon tiket kereta api, bebas iuran BPJS sekeluarga selama sebulan, memperoleh beras, atau lainnya, sesuai nilai pajaknya. Jadi, yang ditonjolkan tidak cuma punishment berupa penghambatan izin ini-itu bila tidak mempunyai NPWP, denda bila terlambat lapor pajak, dan sebagainya. Melainkan juga reward bagi mereka yang sudah patuh.

Di lain sisi, mekanisme pelaporan SPT dan SPP juga harus dipermudah. Misalnya dengan sistem online yang andal. Kalau perlu ada Pajak Corner di mal-mal, dan Pajak Keliling di tempat-tempat strategis warga. Tak lupa, mekanisme pemeriksaan wajib pajak yang “lebih bayar” harus dipermudah dan dipersingkat. Ini penting, agar wajib pajak terbiasa jujur dalam mengisi SPT tahunan.

Pagu Pendapatan Tak Kena Pajak (PTKP) sudah cukup ideal, sehingga sebenarnya hanya orang kaya yang wajib membayar pajak. Orang yang penghasilan totalnya di bawah PTKP hanya wajib lapor, tanpa mengeluarkan satu sen pun. Tapi, bila dia mendapat penghasilan/honor lain yang kebetulan dipotong dan dilaporkan oleh si pemberi honor, maka otomatis jumlah honor tersebut masuk ke database Dinas Pajak. Dia tidak wajib membayar, tapi membayar. Inilah yang disebut “lebih bayar” alias kelebihan membayar pajak.

Dari istilahnya, memang terlihat enak, karena bukannya kita yang berutang pada negara, tapi negaralah yang harus mengembalikan uang kita. Tapi praktiknya, sebelum membuktikan bahwa kita benar-benar lebih bayar, ada pemeriksaan menyeluruh terhadap akun kita. Nanti bila kita benar-benar terbukti lebih bayar, kita akan menerima uang kelebihan tersebut.

Sayangnya, proses pemeriksaan ini cukup panjang dan ribet. Makanya, beberapa wajib pajak lebih memilih mengakali laporan SPT biar tidak ada lebih bayar. Kalau mau bicara etika, tindakan mengakali tentu tidak benar. Tapi memang itu pilihan praktis, dibanding harus berhari-hari diperiksa staf pajak. Di sisi lain, rekayasa ini tak merugikan negara. Justru negara untung karena uang lebih bayar itu tidak dikembalikan alias diikhlaskan.

Nah, seandainya mekanisme pemeriksaan ini bisa diperingkas, tentu banyak orang yang mau menorehkan angka-angka yang jujur dan apa adanya di SPT-nya. Inilah PR orang-orang pajak itu.

Urusan rakyat itu sudah cukup banyak. Jangan menambah-nambahi dengan prosedur dan aturan yang jelimet lagi. Kalau tidak kunjung mau berubah, jangan harap melaporkan pajak menjadi kebiasaan masyarakat Indonesia.

Post a Comment for "Melapor Pajak Belum Jadi Kebiasaan"