Unas, Ujian Penuh Masalah
Sudah musim Unas lagi 2014 ini. Dan lagi-lagi bermasalah, mulai dari distribusi soalnya, kerahasiaannya, pelaksanaannya, sampai akibatnya bagi psikis siswa. Kita selalu dibuat mengelus dada melihat para siswa ingar-bingar merayakan kelulusan. Yang paling umum barangkali mencorat-coret atau meng-airbrush seragam sekolah, rambut atau wajah, kemudian berkeliling kota mengendarai sepeda motor dengan suara knalpot meraung-raung.
Yang lebih ajaib, di Sidoarjo, para siswa pernah merayakan kegembiraan lolos dari Ujian Nasional (disingkat Unas atau UN) dengan mandi lumpur. Sementara di Bojonegoro, serombongan siswa pernah digiring ke kantor polisi karena merayakan kelulusan sekolah dengan berkonvoi dari rumah mereka sambil mengenakan celana dalam saja. Dan sekolahnya tidak berbuat apa-apa!
Wah, harus pintar-pintar memilih sekolah, nih!
Mungkin kita tak habis pikir melihat kelulusan sekolah dirayakan dengan tradisi sekacau itu. Kita jadi bertanya-tanya, “Seberat apa sih Unas itu? Kok sampai segitunya?”
Bagaimanapun, konon kelulusan sekolah di 2014 dan seterusnya memang sulit. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, M. Nuh, sendiri mengatakan kalau bobot soal-soal Unas dari tahun ke tahun selalu dinaikkan. Tujuannya supaya pada titik tertentu, anak didik kita berkualitas internasional.
Katanya begitu. Faktanya? Peringkat dunia murid-murid Indonesia dari tahun ke tahun masih begitu-begitu saja. Naik-turun. Kalaupun naik, kenaikan peringkatnya tidak signifikan. Malah yang ada, ketika soal-soal Unas itu dibuat semakin lama semakin sulit, sudah jelas akan berakibat:
Siswa Stres
Itulah kenapa beberapa sekolah menyediakan tabung oksigen sewaktu Unas berlangsung. Karena tidak jarang siswa semaput di momen-momen seperti itu. Tingkat kemungkinan pingsannya barangkali hampir sama dengan upacara bendera atau kesurupan massal.Kalau mau jujur, orangtua siswa, guru dan sekolah pun ikut stres dengan Unas ini. Mereka cemas anak atau muridnya tidak lulus. Stres sebelum Unas, selama Unas, dan setelah Unas (terutama bila tidak lulus betulan). Kita tahu, lulus sekolah, apalagi dengan nilai Unas yang tinggi, adalah suka cita yang tiada tara. Sedangkan tidak lulus adalah malu yang luar biasa. Bahkan Dinas Pendidikan pun pasti ikut merasa kebakaran jenggot.
Tumbuhnya Bibit-bibit Ketidakjujuran
Selama hasil Unas dipakai sebagai parameter utama kelulusan siswa atau seleksi calon-calon mahasiswa Perguruan Tinggi, kita masih akan menyaksikan kecurangan-kecurangan yang mewarnai Unas, bahkan setelah 2014 ini. Apapun himbauan dan janji Pak Menteri, oknum akan selalu berusaha membocorkan soal-soal Unas. Peserta Unas pun akan senantiasa tergoda untuk mencontek, menyiapkan contekan, menggunakan joki, membeli bocoran soal, memantrai pensilnya melalui jasa orang "pintar", dan sebagainya.Sekolah-sekolah juga mungkin akan berkongkalikong dalam penyelenggaraan Unas, dengan tujuan akhir: murid-muridnya kalau bisa 100% lulus, syukur-syukur meraih nilai teratas secara provinsial atau nasional. Bentuk kongkalikong itu bisa berupa lobi-lobi ke pengawas ujian agar tidak usah terlalu ketat menjaga Unas, diam-diam membantu siswanya mengerjakan, dan lain-lain.
Menjamurnya Lembaga Bantuan Belajar (LBB)
Ini takkan kita jumpai di negara-negara lain, apalagi di negara maju. Di sini, seorang siswa akan merasa bersalah kalau teman-temannya ikut LBB sementara dia tidak. Dia akan merasa telah meremehkan Unas atau ketinggalan sesuatu. Padahal dia memang pintar dan termotivasi untuk belajar tanpa perlu dibantu-bantu. Namun akhirnya runtuh kepercayaan dirinya. Dia pun merengek-rengek pada orangtuanya supaya juga dileskan. Beban biaya lagi buat orangtua!Biaya ekstra yang dikeluarkan orangtua ini lebih tepat disebut solusi instan, seperti susu formula bagi ibu yang tidak keluar ASI atau malas memberi ASI pada bayinya. Bukan investasi pendidikan! Sebab, alih-alih mengajari siswa dari nol mengenai dasar-dasar keilmuan, LBB cenderung fokus bagaimana mengakali soal supaya bisa cepat dijawab. Padahal kita tahu, tantangan zaman yang sebenarnya bukanlah berlembar-lembar soal pilihan ABCD.
Dengan karakter Menteri Pendidikan saat ini, banyak orang pesimis Unas akan ditinjau ulang meski dari tahun ke tahun selalu bermasalah.
Terlepas dari manfaat dan unsur keadilannya yang dipermasalahkan itu, bagi siswa, Unas sungguh sebuah medan pertempuran yang ganas. Menghadapinya ibarat terlibat perang di padang pasir dengan musuh yang mengerikan. Jika lengah atau salah dalam mengambil keputusan, siswa itu bakal terkapar dan kehilangan gairah untuk membicarakan rencana ke depan. Atau mungkin memaki-maki keadaan dan membenci dirinya sendiri.
Maka wajar saja bila saat kelulusan tiba, mereka begitu girang, hingga hilang rasa malu ketika berkeliling kota dengan celana dalam saja. Peduli amat setelah lulus mau ke mana, mau jadi apa. Mereka merasa sangat merdeka saat itu. Gembira luar biasa bisa lulus dari sekolah, meninggalkan kurikulum serta sistem pendidikan yang sebenarnya tidak lulus uji itu.
- Tulisan: Arta Nusakristupa