Kembang Kuning, Makam yang Berdenyut 24 Jam
Bagi masyarakat Surabaya, makam Kembang Kuning sungguh familiar. Bukan hanya karena berhubungan dengan kemerdekaan Indonesia, melainkan juga karena di daerah ini ada Masjid Rahmad (Masjid Kembang Kuning) yang jadi rujukan waktu azan bagi masjid-masjid di Jawa Timur. Terlepas dari itu, ada pembicaraan ringan tentang aktivitas penghuni makam Kembang Kuning saat malam.
Kembang Kuning sendiri adalah makam yang sudah beroperasi sejak masa penjajahan Belanda. Jelasnya kapan makam ini mulai ada, kuncen (juru kunci) makam A.R.M. Soekarjono mengaku tidak tahu. Karena menurutnya, dia harus menunggu perintah dari pihak Belanda.
Yang jelas, makam ini merupakan peristirahatan bagi para serdadu Belanda yang tewas di Indonesia dalam pertempuran melawan Jepang. Setidaknya ada 356 tentara Belanda yang tewas, waktu itu.
Pada tahap selanjutnya, kuburan ini bukan saja digunakan oleh keluarga Belanda, tapi juga berkembang menjadi pemakaman Kristen yang lebih umum, dalam arti menerima pemakaman warga pribumi. Saat ini, di Kembang Kuning terdapat setidaknya 2.000 makam. Termasuk mereka yang tercatat di pemakaman ini adalah beberapa pahlawan Indonesia.
Saat saya berkunjung, tampak bahwa rumah peristirahatan terakhir ini masih terawat dengan baik dan bersih. Bunga-bunga pun masih menghias indah di sekitar nisan. Tentu ini berkat penjaga makam dan keluarga almarhum yang peduli terhadap makam leluhurnya. Apalagi Kembang Kuning juga masih ada dalam wilayah milik Pemerintah Belanda (khusus untuk pemakaman Belanda). Kembang Kuning pun didaulat menjadi Ereveld atau makam kehormatan.
Tetapi, selalu ada sisi lain dari sebuah cerita. Di Taman Kembang Kuning, banyak juga para pedagang kaki lima yang mangkal. Mereka melayani para warga setempat dan peziarah Kembang Kuning.
Ketika malam semakin larut, para waria Surabaya pun mengandalkan tempat ini untuk mencari sesuap nasi. Memang, tidak ada lampu penerangan yang memadai di sini. Itulah yang membuat saya sering deg-deg-ser ketika melewati kuburan yang tersohor ini. Bukan karena pocong atau genderuwo, tapi lantaran banyak “hantu” lain. “Hantu” menor yang biasa duduk-duduk di atas makam.
Waria atau bencong itu terlihat asyik sendiri dan sesekali menyapa setiap orang yang lewat. Saat saya bertanya, apakah mereka tidak takut mangkal di areal makam yang biasanya identik dengan makhluk halus, seorang waria berseloroh, ”Nggaklah, Mas! Apalagi kalau ada Mas.”
Mampuslah awak....
Omong-omong, kenapa mereka memilih Kembang Kuning? “Ya di samping tempat ini sudah dikenal klien-klien kita, saat Satpol PP datang pun kita dengan mudah lari ke dalam, Mas,” jawab seorang waria yang tidak diketahui namanya, karena saya memang tidak bertanya.
Namun, tidak hanya waria yang terlihat di sini malam-malam. Para lelaki tulen pun hobi nongkrong di sini. Mungkin karena makam Kembang Kuning menyimpan pesona wisata yang mengagumkan. Tapi sayang, potensi ini masih belum digali dengan maksimal oleh Pemerintah Daerah.
Padahal di Prancis, ada makam para tokoh penting Prancis (dan juga beberapa selebritas terkenal dunia) yang bernama Cimetière du Père-Lachaise. Tokoh-tokoh penting Prancis dan dunia, seperti politikus Paul Barras, Louis Blanc, Auguste Blanqui, diplomat kondang pembuat Terusan Suez (Ferdinand de Lesseps), mantan Presiden Prancis yang tewas tertembak di Istana Elysees tahun 1899 (Felix Faure), pencipta sistem transportasi yang saat ini dikenal dengan sebutan metro (Fulgence Bienvenue), dan masih banyak lagi, dibaringkan di makam tersebut.
Tidak hanya itu, selebriti dan tokoh populer dunia seperti penyanyi legendaris era 1930-1940 (Edith Piaf), vokalis band The Doors (Jim Morrison), komposer musik klasik kaliber kakap (Frederic Chopin), pencipta lagu (Jean-Baptiste Clement), aktor sekaligus penyanyi (Yves Montand), dan artis Sarah Bernhardt pun dimakamkan di sini.
Di tempat yang sama, ada monumen untuk menghormati pengorbanan 35.000 tentara Spanyol yang tewas di medan Perang Dunia II saat pasukan Nazi menginvasi hampir seluruh daratan Eropa. Makam itu selalu menyedot jutaan wisatawan setiap tahunnya.
Kembang Kuning pun sebenarnya tidak kalah bila dilihat dari sejarah di balik makamnya sendiri maupun tokoh-tokoh yang telah dibaringkan di sana. Jika orang Prancis bisa membuat makam-makamnya menjadi tempat menarik untuk dikunjungi, mengapa kita tidak? Bukankah kita telah tahu, “Bangsa yang baik adalah bangsa yang mengenal sejarahnya.”
Dirgahayu NKRI yang ke-70. Merdeka!
- Tulisan: Ihsan Maulana