Cerita Militer dalam Novel Berlatar Papua
- Judul: Tiga Sandera Terakhir
- Subjudul: Terinspirasi dari Konflik Berdarah di Timur Indonesia
- Genre: Novel thriller militer
- Pengarang: Brahmanto Anindito
- Tebal: 309 + xiv halaman
- ISBN: 978-602-0989-47-1
- Penerbit: Noura Books
- Cetakan I: Juni 2015
Di novel ini, militer tidak hadir hanya sebagai latar penghias cerita. Core genre-nya sendiri memang benar-benar militer. Tidak bercerita tentang kisah romantika percintaan kadet, taruna atau prajurit muda. Tidak pula berkutat seputar biografi tokoh militer yang tujuan terselubungnya adalah “pencitraan” atau “iklan politik”.
Tiga Sandera Terakhir bebas dari tujuan-tujuan itu. Cerita yang ditampilkan di sini murni gimmick militer di lapangan tempur dalam kaitannya dengan operasi militer.
Novel militer kita
Literatur militer kita selama ini didominasi oleh buku-buku nonfiksi. Kebanyakan cenderung mirip memoar dari para pensiunan jenderal. Periksalah di perpustakaan kota Anda. Sejak zaman Pemerintah Soeharto, atau mungkin Soekarno, banyak sekali buku-buku militer seperti itu. Sebut saja yang dikarang oleh tim Wiranto, Kiky Sjahnakrie, Prabowo Subianto, dan puluhan jenderal sebelum mereka.Namun sungguh, kita akan kesulitan mendapatkan novel fiksinya. Salah satu dari segelintir penulis cerita militer adalah Bunga Rosania Indah. Novel-novel militernya lebih ke unsur percintaan atau humor di lingkaran tentara dan polisi. Belakangan, muncullah Brahmanto Anindito yang mengusung novel militer dalam kemasan thriller-action.
Entahlah, kenapa penulis-penulis cenderung menjauhi cerita-cerita militer? Apakah karena penggarapannya sulit, butuh riset lama? Tergolong “sakral”? Atau tidak marketable? Entahlah.
Yang jelas, banyak potensi cerita sebenarnya. Kita tahu, militer Indonesia tergolong kelas dunia. Dalam kejuaraan menembak saja, TNI sudah delapan kali berturut-turut memecundangi Amerika, Inggris dan Australia. Meskipun rumornya, negara-negara maju itu hanya mengirim tentara infanteri regulernya dari tahun ke tahun.
Tapi, siapa yang menyangkal kekuatan militer Indonesia? Menurut sebuah lembaga independen, baru-baru ini, militer Indonesia dipersepsikan berada dalam urutan 19 dunia.
Artinya, sekali lagi, banyak cerita yang sebenarnya bisa digali dari dunia militer Indonesia. Tiga Sandera Terakhir ini adalah salah satu yang mencoba bergerak ke arah sana.
Cerita novel militer Tiga Sandera Terakhir
Novel ini bertutur tentang sebuah penyanderaan yang terjadi di Papua. Sandera-sandera itu terdiri dari tiga turis Australia dan Prancis, serta dua wisatawan domestik. Sampai sini, barangkali muncul pertanyaan, “Yang disandera lima orang, kenapa judulnya Tiga Sandera? Jawaban untuk pertanyaan itu akan terbaca nanti di sepertiga bagian akhir cerita.Yang jelas, mata TNI (Tentara Nasional Indonesia) segera mengarah ke OPM (Organisasi Papua Merdeka). Ya, siapa lagi yang gemar menciptakan gejolak di Papua selain kelompok bersenjata yang senantiasa ingin membebaskan Papua dari NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) ini? Namun, tak disangka tak dinyana, OPM sendiri menyangkal terlibat dalam penyanderaan itu.
Otoritas OPM mengatakan bahwa angkatan militernya sudah lama meninggalkan cara-cara seperti itu dalam usaha memperjuangan kemerdekaan negara Papua Barat. Kalaupun harus bertempur, mereka akan bertempur dengan prajurit-prajurit TNI. Bukan masyarakat sipilnya. Apalagi bila mereka sekadar turis, bukan mata-mata atau informan sipil untuk Indonesia.
Lalu, jika OPM tidak mengaku, siapa sebenarnya pelaku penyanderaan berdarah ini?
Cerita pun bergulir. Pihak TNI bertindak cepat. Satuan Penanggulangan Teror (Gultor) Kopassus di bawah pimpinan Kolonel Inf. Larung Nusa diturunkan ke bumi cenderawasih. Awalnya, TNI berencana menggelar operasi damai dengan mengutamakan negosiasi ke pihak penyandera. Namun, karena semua langkah mentok, operasi militer pun dijalankan.
Sialnya, di hutan Papua yang lebat dan penuh aral, korban dari pihak Kopassus, sandera maupun penduduk sipil Papua malah berjatuhan. Penyandera ini ternyata tidak selugu dugaan awal Kolonel Nusa. Bahkan lama-lama, Komandan Sat-81 Kopassus itu mulai menyadari bahwa lawannya bukan sekadar milisi OPM. Melainkan pasukan khusus seperti dirinya. Kopassus-nya OPM!
Review cerita
Novel ini tergolong renyah dan mengalir. Jangan takut tersendat dengan jargon-jargon militer, karena ceritanya disampaikan dengan gaya yang encer dan mudah dicerna. Orang awam militer sekalipun takkan kesulitan memahaminya.Sekadar catatan, Tiga Sandera Terakhir bukan benar-benar karya fiktif. Awal dari cerita ini mengingatkan kita akan peristiwa penyanderaan kolosal yang pernah terjadi pada 1996 di pelosok Papua. Pelakunya waktu itu adalah OPM. Mata dunia pun tertuju ke Indonesia lantaran tragedi tersebut. Satuan militer TNI (ABRI) seperti Kopassus, Penerbad, Kostrad, Kodam dan Marinir bahu membahu membebaskan belasan sandera itu.
Cerita tentang penyanderaan tersebut akhirnya menjadi satu dari beberapa kisah sukses Kopassus sebagai pasukan elite kebanggaan Indonesia. Tentu saja tanpa mengesampingkan peranan satuan-satuan militer lain dari ketiga matra TNI.
Namun, menurut pengarangnya di bagian Kata Pengantar, Tiga Sandera Terakhir tidak sedang menyajikan ulang penyanderaan OPM di penghujung Orde Baru itu. Cerita yang dia tulis ini murni fiksi, terutama ide, alur serta tokoh-tokohnya.
Jadi, jika Anda mencari referensi untuk menggarap karya tulis ilmiah atau jurnalistik, Tiga Sandera Terakhir bukan bacaan yang tepat. Tapi bila Anda mencari cerita seru yang tidak sekadar dar-der-dor dan bak-buk-bak-buk, melainkan juga menambah wawasan (tentang Papua dan militer), carilah novel terbaru ini di toko-toko buku.
Anda akan mendapatkan warna yang berbeda di novel ini. Pada saat buku thriller dan misteri Indonesia mulai marak dengan cerita horor, detektif atau petualangan, novel terbitan Noura Books (Mizan Group) ini menawarkan sesuatu yang lain. Sesuatu yang menguras adrenalin pembacanya dengan cara yang lain.
- Tulisan: Win Andriyani, penikmat film dan novel