Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Papua Kembali Berdarah di Sekitar Hari HAM

Papua Kembali Berdarah di Sekitar Hari HAM

Hari ini, 10 Desember 2018, harusnya diperingati sebagai Hari Hak Asasi Manusia (Human Rights Day). Namun ironisnya, di bulan disahkannya pernyataan hak-hak asasi manusia sedunia ini juga, sebuah tragedi kemanusiaan sedang berlangsung di Papua. Tepatnya di Distrik Yigi, Yall, hingga Mbua, Kabupaten Nduga.

Belasan, atau bahkan mungkin puluhan, pekerja PT Istaka Karya dibantai. Pelakunya adalah Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Kronologi Desember Berdarah di Bumi Cenderawasih

Tragedi ini bermula pada Sabtu, 1 Desember 2018. Sejak pagi, para pekerja Istaka yang sedang menggarap jembatan Trans-Papua memutuskan untuk tidak bekerja. Penyebabnya, hari itu ada upacara bakar batu. Ritual ini biasa dilakukan dengan memasak babi melalui batu-batu yang dipanaskan. Tujuannya, sebagai ungkapan rasa syukur, bersilaturahim antarsuku, atau menghormati tamu besar yang berkunjung.

Tahu-tahu, sekitar pukul tiga sore WIT, pasukan OPM mendatangi kamp Istaka. Rumor beredar, mereka menggeruduk karena tidak terima salah satu pekerja Istaka memotret upacara adat Bakar Batu tadi. Barangkali, OPM mencurigai sang pemotret adalah intelijen Indonesia. Sebab, hari itu juga bertepatan dengan HUT OPM.

Menurut Wakil Kepala Penerangan Kodam XVII/Cenderawasih, Letnan Kolonel Dax Sianturi, seorang korban selamat bernama Jimmy Aritonang bercerita bahwa sekitar 50 orang bersenjata menyergap 25 pekerja di kamp pembangunan jembatan. Mereka lantas digiring ke Kali Karunggame dan diinapkan di sana.

Pada 2 Desember 2018, mereka dibawa ke puncak Bukit Kabo. Ke-25 pekerja tersebut disuruh jongkok dalam lima saf. Para penyergap lalu menari-nari mengelilingi mereka. Setelah itu, tanpa ampun, peluru memberondong para pekerja malang itu.

Tidak semuanya meninggal. Jimmy dan 10 pekerja lain selamat dari terjangan timah panas. Mereka berpura-pura mati sampai kelompok berdarah dingin itu enyah. Saat keadaan diperkirakan aman, mereka kabur. Cuma sayangnya, mereka tepergok. Milisi itu mengejar. Lima tertangkap dan tewas digorok.

Enam pekerja melarikan diri. Dua orang sampai sekarang belum ditemukan. Tetapi empat berhasil menjangkau Pos TNI Batalion Infanteri 755/Yalet, Distrik Mbua, yang dijaga 20 personel TNI.

Merasa menang jumlah, OPM mengepung pos tersebut. Pada dini hari, 3 Desember 2018, mereka memancing TNI dengan melempar jendela menggunakan kerikil. Sersan Dua Handoko membuka jendela, dan timah panas segera menembus tubuhnya. Serda Handoko gugur.

Sekitar pukul 5 WIT, milisi membuka serangan dengan panah, tombak, dan senjata militer. Bakutembak terjadi. Sementara bantuan tidak kunjung datang, karena belum ada aparat di luar yang tahu kejadian ini. Sinyal telepon di sana sangat buruk.

Pada 4 Desember 2018, sekitar pukul 1 WIT, komandan pos memutuskan mencari bantuan. Momentumnya dianggap pas karena sedang hujan deras dan gelap. Para personel TNI pun merangkak kabur dan akhirnya berhasil menghubungi tim lain. Meskipun Prajurit Satu Sugeng sempat tertembak di bagian lengan.

Kira-kira pukul 7 WIT, satgas gabungan TNI-Polri tiba di Mbua. Tetapi pertempuran masih alot. Helikopter TNI yang digunakan untuk mengevakuasi jenazah Serda Handoko ditembaki. Baling-balingnya sampai terkena peluru. Untungnya, sang pilot berhasil menuntaskan misi evakuasi ini.

Untuk sementara, keadaan kondusif. Menurut perhitungan TNI, jumlah pekerja yang meninggal di lereng bukit Puncak Kabo sebanyak 19 orang.

Cerita Penyerangan Versi TPPNPB-OPM

Sebby Sambom, Juru bicara TPPNPB-OPM, mengakui kelompoknya sebagai pelaku penyerangan. Operasi itu dipimpin Egianus Kogoya, Panglima Komando Daerah Operasi III, Ndugama, Nduga. “Kami hanya melakukan penyerangan, karena ingin merdeka,” tandasnya.

Namun, Sebby menyangkal istilah “pembantaian” yang dipakai TNI. Mereka tidak menyerang sipil. Korban-korban di Istaka Karya bukan kalangan sipil. Sudah lama OPM menandainya. Milisi itu yakin, para pekerja di sana adalah sekumpulan intel TNI yang menyaru.

Kabupaten Nduga memang telah lama menjadi salah satu basis mereka. Ingatan kita tentu masih segar dengan kasus penyanderaan OPM di Mapnduma pada 1996. Di sana, OPM menentang pembangunan infrastruktur oleh Indonesia. Sebab, itu dianggap sarana dan prasarana untuk memuluskan penjajahan. Maka mereka melakukan segala cara untuk menghentikannya. “Karena itu, kami serang!” tegas Sebby.

Kendati demikian, ternyata tidak semua kelompok OPM bertepuk tangan atas serangan itu. Kelompok Yanto Eluay justru mengecamnya. Putra almarhum Theys Hiyo Eluay, mantan Ketua Presidium Dewan Papua, itu berpendapat bahwa perjuangan Papua tidak cocok lagi dilakukan dengan kekerasan.

Lain Yanto, lain Egianus Kogoya. Panglima OPM yang usianya baru 30-an itu telah bertekat takkan berhenti melakukan perlawanan dengan senjata. Ini adalah perjuangan mulia versi mereka. Sikap keras ini menurun dari bapaknya. Ya, Egianus adalah anak sulung dari Daniel Kogoya.

Siapa Daniel Yudas Kogoya? Dialah tokoh pro-kemerdekaan yang sering menggunakan pendekatan perang terhadap Indonesia. Pada 1996, Dani merupakan salah satu pentolan penyanderaan 26 peneliti Tim Ekspedisi Lorentz. Penculikan itu dipimpin oleh tokoh besar OPM, Kelly Kwalik, yang terbunuh pada 2009.

Sejak Dani meninggal pada 2016, tongkat komando panglima jatuh ke tangan Egianus. Sebby mengklaim, Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) pimpinan Egianus memiliki 2.500 anggota. Namun TNI menaksir kekuatannya hanya sekitar 50 orang.

Dalam keadaan damai, kelompok Egianus terus bersabar mengumpulkan amunisi dan senjata. Caranya klasik, dengan menyerang pos-pos TNI dan polisi, lalu merampas senjata mereka.

Selain itu, mereka juga mendatangkan senapan dari daerah lain, seperti Ambon (dari sisa-sisa konflik di sana). Ada juga senjata-senjata yang diproduksi sendiri dari pabrik-pabrik rakitan di Papua.

Terkadang, mereka juga mengimpor senjata, misalnya dari Filipina, Thailand, dan lain-lain. Sejata-senjata ini kemudian dimasukkan melalui Papua Nugini.

Mereka juga agresif dan brutal. Kelompok Egianus pernah menembaki pesawat Twin Otter milik Trigana Air yang membawa 15 anggota Brigade Mobil (Brimob) saat mendarat di Bandara Kenyam, Kabupaten Nduga, Juni silam. Menurut Kapolri, Tito Karnavian, kelompok ini juga memiliki catatan kriminal pada Oktober lalu, yaitu memerkosa guru dari luar Papua.

Sikap Pemerintah Indonesia: NKRI Harga Mati

Sebenarnya, apa yang dilakukan pekerja-pekerja PT Istaka Karya hingga OPM tega membantai mereka? Perusahaan ini hanya ditugasi untuk membangun 14 jembatan (dari total 35 jembatan) yang menghubungkan Mamugu di Kabupaten Asmat dengan Wamena di Kabupaten Jayawijaya.

Infrastruktur ini merupakan bagian dari Proyek Trans-Papua yang dari pemerintah ke pemerintah terus digarap di tanah yang kaya akan budaya ini. Tidak kurang dari 4.330 kilometer total jalan Trans-Papua, meliputi:
  • 595 km: Sorong-Maybrat-Manokwari
  • 476 km: Manokwari-Mameh-Waisor-batas Provinsi Papua
  • 284 km: Wamena-Habema-Kenyam-Mamugu
  • 203 km: Kwatisore-Nabire
  • 276 km: Nabire-Wagete-Enarotali
  • dan beberapa jalan lainnya.
Infrastruktur ini sangat penting untuk mengeluarkan Kabupaten Nduga dari isolasi. Sebagai catatan, Nduga adalah hasil pemekaran dari Kabupaten Jayawijaya. Daerahnya tertutup, sarana dan prasarananya buruk. Markas Komando Distrik Militer (Kodim) dan Kepolisian Resort (Polres) saja belum ada. Hanya berdiri Komando Rayon Militer (Koramil) dan pos polisi.

Maka dari itu, Nduga sangat strategis bagi pergerakan kaum pemberontak. Ketika infrastruktur nantinya terbangun, cepat atau lambat, kabupaten ini akan menjadi “terang”. Sehingga, OPM akan sulit bergerilya di dalamnya.

Mereka pun semakin sulit menghasut rakyat setempat untuk membelot dari NKRI. Sebab, seiring dengan terbangunnya infrastruktur, roda perekonomian lokal akan berputar. Warga berangsur-angsur akan semakin sejahtera.

OPM mungkin melihat ini sebagai akal-akalan saja. Dalam benak mereka, penjajah selalu membangun infrastruktur untuk melanggengkan penjajahannya. Seperti Herman Willem Daendels yang membangun Jalan Anyer-Panarukan. Apakah tujuannya untuk kesejahteraan rakyat? Tidak. Jalan sepanjang kurang-lebih seribu kilometer itu dibangun supaya Hindia Belanda bisa lebih dalam menancapkan kuku-kukunya di Jawa.

Syahdan, disiapkanlah rencana sadis dan teror ini. Berhasil! Basuki Hadimuldjono, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PU-Pera) akhirnya mengatakan, “Atas kejadian ini, seluruh pekerjaan kita hentikan di ruas ini. Sambil menunggu situasi kondusif sesuai rekomendasi Pangdam dan Kapolda Papua.”

Presiden Joko Widodo tentu geram melihat kondisi ini. “Saya perintahkan Panglima TNI dan Kapolri untuk mengejar dan menangkap semua pelaku tindakan biadab ini sampai ke akar-akarnya,” tandasnya. Selain itu, Jokowi menambahkan bahwa dia memastikan pembangunan di Papua akan tetap berjalan karena masyarakat Papua membutuhkannya.

Jakarta menurunkan sekitar 300 personel gabungan dari Komando Pasukan Khusus (Kopassus) dan Brimob. Hingga hari kesepuluh ini, fokus tim gabungan ini masih untuk mengevakuasi korban, baik yang sudah meninggal maupun yang masih hidup.

Sampai tulisan ini ditulis, telah ditemukan 17 jenazah yang terdiri dari 16 pekerja Istaka dan seorang pegawai lapangan Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional Wilayah XVIII Papua. Masih ada dua jenazah lagi dan dua pekerja yang belum ditemukan.

Tidak ada tenggat untuk operasi ini. TNI-Polri tidak diberi batas waktu untuk menuntaskan misinya.

Namun setelah semua korban ditemukan, kita sama-sama tahu di mana operasi semacam ini berujung. Frasa “sampai ke akar-akarnya” dari Presiden membuat sasaran tidak akan berhenti di Kelompok Egianus Kogoya. Pemimpin militer tertinggi OPM, Goliath Tabuni, pasti juga akan diincar, hidup atau mati!

“Tentunya aksi kriminal sadis itu harus ada penindakan. Kalau mereka menyerahkan diri, ya kita terima. Tapi kalau tidak, akan kita kejar,” tandas Muhammad Aidi, Kepala Penerangan Kodam XVII/Cenderawasih. Sementara di tempat terpisah, Jubir OPM Sebby Sambom menyatakan pihaknya tidak takut dengan perang terbuka ini. Sebab, “Kamilah yang punya hutan!”

Apa boleh buat. Mungkin, sekali lagi, kita akan disuguhi dengan sebuah paradoks: menciptakan kedamaian melalui pertumpahan darah. Dan ini semua terjadi di sekitar Hari HAM sedunia.

- Tulisan: Brahmanto Anindito