Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

4 Alasan Kenapa Televisi Semakin Ditinggalkan Milenial

4 Alasan Kenapa Televisi Semakin Ditinggalkan Milenial

Sebagian generasi milenial tumbuh dengan televisi sebagai hiburan utama mereka. Apalagi di Indonesia yang notabene banyak memiliki stasiun televisi swasta nasional. Semua ada, mulai dari berita, gosip artis, film, siaran langsung olahraga, sampai musik. Semua gratis!

Makanya, warga Indonesia, bahkan di zaman sebelum internet, tidak merasa perlu berlangganan koran. Tidak perlu takut ketinggalan informasi. Sebab, informasi yang dibutuhkan selalu dapat diperoleh secara cuma-cuma melalui televisi dan radio.

Menggusur pendengar radio dan pembaca koran-majalah, televisi menjadi raja media di Indonesia. Selama setidaknya dua dasawarsa ini, tercatat peminatnya paling banyak. Orang banyak menghabiskan waktunya di televisi.

Lalu datanglah internet. Perlahan, dominasi televisi memudar. Internet ternyata memiliki kemampuan audiovisual yang sama dengan televisi, bahkan mungkin lebih baik dan lebih fleksibel. Salah satunya dengan memfasilitasi fitur interaktivitas yang membuat pemirsa bukan lagi objek pasif. Pemirsa juga bisa aktif memilih dan menentukan.

Pergeseran tren ini kian menjadi-jadi, ketika internet bisa diakses oleh ponsel pintar dan tarifnya semakin murah. Masyarakat jadi seperti tidak ada waktu lagi untuk menonton televisi.

Menurut lembaga riset Zenith, tahun lalu, selisih waktu antara orang menonton televisi dan mengakses internet setiap hari adalah 27 menit. Namun tahun ini, selisih itu tinggal 13 menit. Tahun depan, malah diprediksi tidak ada lagi selisih. Semua orang akan mengakses internet dan menonton televisi rata-rata sama lamanya. Bahkan ke depannya, konsumen bisa jadi berfokus hanya ke internet.

Bagaimanapun, terlalu berlebihan bila kita mengatakan inilah senja kala media televisi. Sama berlebihannya dengan ketika dulu orang meramalkan, “Televisi akan membunuh radio.” Mengapa?

Pertama, karena karakteristik tiap media berbeda-beda, sehingga pasti ada saja orang yang merasa nyaman di media tertentu. Kedua, karena televisi itu gratis (kecuali TV cable). Tidak mungkin masyarakat sepenuhnya meninggalkan sesuatu yang gratis, apalagi media tersebut memiliki tradisi yang mengakar kuat seperti televisi.

Namun satu yang tidak bisa dimungkiri, pesona televisi memang memudar. Konsumen semakin cerewet dan memiliki standar yang selalu meningkat dari tahun ke tahun. Standar itu, sayangnya, terancam gagal dipenuhi oleh pihak pengelola televisi.

Apa saja kegagalan televisi dalam pemenuhan standar baru itu? Berikut ini beberapa di antaranya:

(1) Jam Tayang yang Sudah Saklek

Talk Show jam sekian, Breaking News jam sekian, Berita jam sekian, Film jam sekian, Dangdut jam sekian, dan seterusnya. Kalau zaman dulu, pemirsa cenderung mematuhi jadwal ini. Sebagian malah bela-belain mempercepat pekerjaan utamanya agar tidak tertinggal acara favoritnya.

Sekarang, buat apa? Pemirsa, terutama dari kalangan milenial, cenderung santai saja, “Paling-paling, nanti ada rekamannya di YouTube.”

Ketika mendengar ada isu tertentu, apa yang orang lakukan? Bukan lagi menyetel televisi atau radio, karena belum tentu media itu sedang membahasnya. Orang cenderung langsung meramban di Google atau mesin penelusuran lainnya. Rasa penasarannya pun terjawab seketika.

Jika televisi hanya memberikan remote control bagi konsumennya, internet menghadiahkan content control bagi penikmatnya. Ini tentu kemampuan yang lebih menarik, mengingat manusia semakin sibuk dan tidak ada waktu lagi untuk mengikuti jadwal yang sudah disiapkan secara sepihak oleh stasiun televisi.

(2) Variasi Film yang Monoton dan Tercicil

Televisi pun tidak andal lagi dalam menayangkan film, terutama film bioskop. Film bioskop yang ditayangkan itu-itu saja. Televisi pura-pura tidak sadar bahwa kompetitornya sudah banyak, mulai dari stasiun televisi lain, bioskop, aplikasi penyedia konten hiburan seperti Netflix, Viu, HOOQ, YouTube, sampai situs web tempat mengunduh film bajakan.

Semua itu mengubah cara orang menikmati film. Kalau dibuat peringkat, barangkali tradisi orang menikmati film melalui televisi (gratisan) sudah tidak lagi papan atas, bahkan mungkin jadi alternatif paling buncit sekarang.

Pemirsa semakin merasa kurang nyaman menonton televisi hari ini. Selain jadwal yang saklek tadi, juga banyak iklannya. Padahal, bagi konsumen, iklan adalah gangguan. Film dipotong-potong hanya supaya serentetan iklan tersebut bisa masuk dan mengganggunya.

Memotongnya pun terkadang keterlaluan. Film bioskop utuh dijadikan serial seperti minisinetron. Ini biasanya untuk film-film bioskop yang durasinya melebihi dua jam. Apalagi kalau film itu sangat populer. Kita mafhum, stasiun televisi selalu dibatasi durasi. Film yang terlalu panjang akan membuat slot acara lainnya terganggu.

Tetapi, penonton yang terganggu dengan pemotongan ini juga tidak bisa disalahkan. Wajar saja bila mereka akhirnya tidak lagi mengandalkan televisi untuk menonton film kesayangan mereka.

(3) Terlalu Banyak Iklan

Gratisan, kok, berharap bebas iklan? Tentu wajar sekali bila dalam televisi, banyak berseliweran iklan 30 detikan. Yang patut disayangkan, di Indonesia, iklan-iklan itu terlalu banyak jumlahnya.

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) membatasi, dalam setiap tayangan, durasi iklan maksimal 20 persen. Artinya dalam tayangan satu jam, durasi total iklan harus 12 menit saja atau kurang. Namun, faktanya? Silakan hitung sendiri.

Bahkan di acara-acara khusus, misalnya siaran sepak bola, iklannya seperti antrean mobil macet di jalan protokol. Pemirsa diajak uji kesabaran. Belum lagi ketika pertandingannya berlangsung. Saat seru-serunya, tiba-tiba saja layar menciut, hanya untuk menayangkan iklan-iklan di sidebar atau footer layar. Ini sering terjadi.

Stasiun televisi swasta yang menggunakan ranah publik (frekwensi) memang mengandalkan iklan sebagai pemasukan utama. Tetapi menjadi menggelikan ketika iklan digenjot sedemikian rupa sehingga kenyamanan pemirsa tidak lagi menjadi prioritas.

(4) Sensor Blur yang Berlebihan

Kualitas konten kurang variatif, kualitas gambar pun direduksi sendiri. Beberapa tayangan menerapkan sensor blur (mengaburkan bagian tertentu) dari gambar. Sungguh, ini merusak estetika gambar.

Kalau niatnya menyensor bagian-bagian adegan yang kurang pantas, apakah efektif? Justru setelah diblur, pemirsa milenial jadi penasaran. Yang awalnya biasa-biasa saja, begitu menonton sensor itu jadi merasa ada yang “wow” di balik sensor tersebut. Ini, kan, malah gawat!

Padahal, KPI sendiri sudah menyatakan, “Pengaburan gambar (pengebluran) dalam sebuah tayangan tidak dilakukan oleh maupun atas permintaan Komisi Penyiaran Indonesia.” Artinya, swasensor yang aneh ini atas inisiatif pemilik stasiun televisi masing-masing.

Sama saja. Semua itu ujung-ujungnya membuat pemirsa semakin tidak nyaman dengan televisi.

Namun memang, sudah waktunya. Meminjam adagium lama yang dimodifikasi sedikit, “Semua masa ada medianya. Dan semua media ada masanya.” Tidak ada yang abadi selama peradaban terus berputar.

- Tulisan: Win Andriyani