Membaca Strategi Content Marketing Capres-Cawapres 2019
Saat kampanye Pemilihan Presiden (pilpres) berdurasi lebih panjang seperti sekarang, tidak satu pun kubu mau melewatkan strategi content marketing. Sebab, strategi murah-meriah ini berpeluang menjadikan viral konten-konten yang menguntungkan elektabilitas masing-masing kubu, hingga terus menggema di jagat siber. Bahkan ketika KPU menginstruksikan penghapusan akun-akun resmi tim pemenangan setelah masa kampanye habis, konten itu bisa jadi masih berseliweran karena terlanjur banyak yang membaginya.
Maka tidak heranlah bila tim pemenangan kedua pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) begitu serius membentuk tim content marketing, utamanya untuk menggarap ranah media sosial.
Tim Jokowi-Ma'ruf dan Prabowo-Sandiaga secara sistematis menyusun konten-konten populer untuk dilempar ke warganet. Medianya selain situs web dan blog, juga Facebook, Instagram, YouTube, dan Twitter.
“Relawan kami membuat konten sesuai dengan isu di komunitas daerahnya masing-masing, lalu disebar,” beber Vasco Ruseimy, Wakil Ketua Direktur Informasi dan Teknologi Badan Pemenangan Nasional pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, sebagaimana dikutip Koran Tempo. Narasi kampanye di setiap daerah itu berbeda-beda. Isu-isu nasional belum tentu laku di sana.
Menurut politikus Partai Berkarya itu, perdebatan tentang ekonomi dan HAM memanas di kalangan pengguna Twitter kota-kota besar. Sementara isu pembakaran bendera tauhid ramai dibicarakan para pengguna Instagram dan Facebook di daerah.
Temuan-temuan semacam ini diolah, kemudian dijadikan bahan kampanye yang kekinian. Wujud konkretnya, tim Vasco menyebarluaskan sikap Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno terhadap isu-isu tersebut di media-media sosial.
Setali tiga uang, kubu Jokowi-Ma'ruf juga mengandalkan konten-konten untuk merebut hati warganet. Termasuk memanfaatkan para selebritas yang besar di jagat maya.
Fokus tim content marketing Jokowi-Ma'ruf, sebagai petahana, tentu saja mewartakan keberhasilan-keberhasilan pembangunan Jokowi-JK sejak 2014. Kegiatan-kegiatan harian Joko Widodo selaku presiden RI ketujuh pun dapat menjadi bahan kampanye content marketing yang lezat.
Namun dalam praktiknya, pusat tidak mau mendikte atau mencampuri secara detail jalannya kampanye siber ini. Usman Kansong, Direktur Komunikasi Politik Tim Kampanye Nasional pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin, mengatakan, “Kami hanya mengarahkan apa yang perlu dibicarakan hari ini atau pekan ini. Mereka sudah tahu cara mengemasnya dengan menarik.”
Isi Content Marketing Belum Substantif
Sayang, masih ada saja konten yang dikais dari isu-isu basi seperti Jokowi keturunan PKI, Prabowo tidak punya “burung” karena sudah dikebiri, Jokowi anti-Islam, Prabowo penculik berdarah dingin, dan sebagainya.Patut disayangkan pula betapa perang konten ini juga berubah menjadi perang kosakata. “Sontoloyo”, “genderuwo”, “tempe setipis ATM”, tidak ada yang substansif di sini, karena sejak awal maksudnya memang tidak lebih dari sekadar bakusindir antarcalon. Ya, calonnya sendiri yang memopulerkan istilah-istilah sensasional itu, bukan relawannya di akar rumput!
Popularitas konten-konten semacam ini jelas tidak bertahan lama. Tidak akan lebih lama dari popularitas celetukan, “Masuk, Pak Ekooo...!” Sebab, itu tadi, tidak substantif.
Akibatnya, tujuan content marketing yang seharusnya mampu bertahan untuk jangka panjang, malah jadi seperti sekelebat iklan yang biasa membuat kita tersenyum, tertawa, tetapi lalu kita abaikan.
Sungguhpun ada kosakata dalam kampanye yang bertahan dalam waktu lama, ternyata itu juga tidak substansial. Anda pasti sering membaca atau mendengar istilah-istilah semacam “kampret”, “cebong”, dan lain-lain. Bukan hanya tidak substantif, pengistilahan semacam ini hanya akan membuat Indonesia terbelah. “Kalau kamu bukan cebong, berarti kampret!” Seakan-akan di Indonesia, hanya ada dua golongan itu.
Perbedaan Kekuatan Content Marketing Kedua Kubu
Meskipun Pilpres 2019 adalah tanding ulang antara Jokowi dan Prabowo, keadaan saat ini berbeda dengan masa kampanye Pilpres 2014 silam. Jokowi sudah bukan calon lagi, dia sudah menjadi presiden. Karena itu, Joko Widodo terlihat di atas angin dengan sederet bukti kerja yang bisa dimasak oleh timnya sebagai bahan content marketing.Kegiatan-kegiatan Jokowi pun dengan mudah dapat menjadi trending topic di berbagai media sosial. Misalnya, video berakrobat naik sepeda motor di pembukaan Asian Games 2018, pidato Infinity War atau Winter is Coming di depan para pemimpin dunia, peringatan Hari Santri, dan sebagainya. Saat mengampanyekan kegiatan Hari Santri Nasional, contohnya, menurut pantauan aplikasi Drone Emprit, terjadi perbincangan sebanyak 65.562 kali, hingga akhirnya melejit menjadi trending topic.
Namun, ketika terjadi pembakaran bendera tauhid, tren percakapan Hari Santri segera tertimbun. Tidak kurang dari 82.800 perbincangan teralihkan ke pembakaran bendera tersebut. Selanjutnya, momen ini disusul dengan tagar-tagar yang mengarah ke Aksi Bela Tauhid.
Di sinilah kekuatan pasukan content marketing Prabowo-Sandiaga. Walaupun bersifat kurang perencanaan dan sporadis, basis massa pasangan ini lebih militan dan kuat. Militansi ini, salah satunya, terlihat dari lamanya durasi perbincangan yang menguntungkan mereka di media sosial.
Itulah yang membuat peta persaingan content marketing tampak seimbang, sejauh ini. Di media maya, Prabowo-Sandiaga terlihat unggul. Sedangkan di media arus utama, mereka keok.
Bagaimana tidak keok, mereka tidak punya televisi maupun koran. Sebaliknya, ada setidaknya dua koran nasional, yaitu Media Indonesia (Nasdem) dan KoranSindo (Perindo), yang pro-Jokowi.
Republika yang konten-kontennya cenderung netral, bahkan sering mengkritisi petahana, entah bagaimana sekarang. Sebab, harian yang bernapaskan Islam ini didirikan oleh Erick Thohir yang sekarang menjabat sebagai Ketua Tim Pemenangan Jokowi-Ma'ruf.
Akankah Pola Content Marketing Berubah?
Koran tidak punya, televisi pun tidak ada. Dua media klasik penghasil konten ini tidak dimiliki oleh pasangan capres-cawapres Prabowo-Sandiaga. Jadi, bisa dibilang, mereka benar-benar mengandalkan media internet, selain tentu saja kampanye darat.Maka kalau sampai mereka menang dalam perebutan kursi RI-1 pada 2019, sepertinya ini juga akan mengubah teori-teori praktis yang sudah ajek berkaitan dengan kampanye, bukan hanya di ranah politik, melainkan juga di bidang branding dan bisnis.
Betapa tidak, kemenangan tim “fakir media (konvensional)” berarti menunjukkan pengaruh konten-konten dari media mainstream itu tidaklah sesakti dulu lagi. Maka penelitian-penelitian komunikasi berbau “terpaan media” sepertinya akan terlihat seksi kembali saat itu.
Namun sebelum itu, mari kita sama-sama saksikan dulu, pasangan mana yang akan berjaya pada April 2019.
- Tulisan: Brahmanto Anindito